Presentasi
terakhir membahas tentang “Ekonomi Kelembagaan dan Sistem Ekonomi”, pada minggu
ini saya akan mereview tentang materi tersebut. Langsung saja seperti yang
telah dijelaskan dalam Bab 2, teori ekonomi kelembagaan hidup dan berjalan di atas
realitas sosial yang sesunguhnya, sesuatu yang diabaikan dalam pendekatan
ekonomi klasik/neoklasik. Oleh karena asumsi semacam itu, ekonomi kelembagaan
memasukkan aspek-aspek sosial, politik, hukum, budaya, dan lain-lain sebagai
satu kesatuan unit analisis. Dengan dasar ini, formulasi ekonomi kelembagaan
haruslah berbeda-beda apabila diberlakukan dalam struktur atau sistem ekonomi,
sosial, budaya, atau hukum yang berlainan. Perbedaan tersebut bukan diakibatkan
oleh ketidakjelasan konsep dari ekonomi kelembagaan itu sendiri, melainkan
merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa kegiatan ekonomi berada di atas
realitas sosial. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipelajari secara
mendalam implikasi dari sistem ekonomi dan politik terhadap formulasi konsep ekonomi
kelembagaan. Sekadar menyederhanakan, sistem kapitalis dan sosialis dipilih
sebagai studi kasus sistem ekonomi; serta sistem politik otoriter dan
demokratis sebagai studi kasus sistem politik. Pada bagian akhir, akan
dipaparkan bagaimana intervensi negara dalam kegiatan ini lewat pespektif
ekonomi kelembagaan.
Kelembagaan
Kapitalisme dan Sosialisme
Sistem
ekonomi kapitalis sendiri tegak oleh beberapa pilar dasar yang melatarinya.
Pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan dikoordinasi
oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai penanda (sinyal). Jika harga
dianggap melebihi biaya produksi dan margin laba, maka hal itu merupakan sinyal
bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk ke pasar untuk menambah persediaan
(supply) barang/jasa sehingga dapat menurunkan harga; demikian sebaliknya.
Kedua, setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan
sebagai dasar melakukan transaksi (exchange). Tanpa adanya hak kepemilikan,
individu tidak akan penah bisa mengeksekusi kegiatan ekonomi (transaksi). Oleh
karena itu, salah satu fungsi terpenting dari kapitalisme adalah menawarkan dan
melindungi hak kepemilikan swasta. Ketiga, kegiatan ekonomi dipisahkan oleh
tiga pemilik faktor produksi, yakni pemodal, tenaga kerja (labor), dan pemilik
lahan (land). Pemilik modal memeroleh pendapatan dari laba (profit) tenaga
kerja dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa (rent). Keempat, tidak ada
halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar. Pelaku ekonomi yang
melihat peluang profit bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pelaku
ekonomi yang (rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi yang
menghambatnya.
Sistem sosialis meletakkan faktor-faktor produksi
di bawah kontrol negara, Keputusan produksi dan inivestasi tidak dilakukan melalui
pasar dan para kapitalis, tetapi berdasarkan perencanaan terpusat (central
plan). Perencanaan tersebut isinya meliputi target tingkat pertumbuhan ekonomi
nasional dan perangkat yang dibutuhkan untuk bisa Inencapai tujuan tersebut.
Negara dalam mendesain dan mengimplementasikan rencana mempertimbangkan seluruh
kebutuhan warga negara berdasarkan sumber daya yang dimiliki berbasiskan
tindakan kolektif daripada kepentingan privat. Perencanaan dilihat sebagai
perangkat pembangunan yang menguntungkan karena hal itu bisa mengeliminasi
ketidakpastian yang inhenren dalam sistem pasar. Dengan keyakinan itu, sistem
ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba negara. Negara bukan
sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi kegiatan ekonomi,
tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri. Akibat tekanan yang
terlampau besar kepada negara, rezim sosialis kerap dipandang sebagai anti
nilai-nilai kewirausahaan.
Tentu
saja, dengan pilar tersebut, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi sosialis lebih
simpel daripada sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi kelembagaan sistem ekonomi
sosialis hanya didasarkan pada dua prinsip berikut. Pertama, negara menyiapkan
seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti
investasi, dari mulai proses perencanaan, operasionalisasi, pengawasan, sampai
ke evaluasi. Pada level ini fungsi negara merancang sistem kepemilikan, proses
transaksi, dan pembagian keuntungan berbasiskan instrumen negara. Jadi, dalam
kasus hak kepemilikan, negara bukan cuma mengontrol, tetapi juga menguasai hak
kepemilikan. Dengan prosedur inilah negara berharap target pemerataan
pendapatan bisa dicapai. Kedua, pelaku ekonomi tidak membuat kesepakatan dengan
pelaku ekonomi lainnya, tetapi setiap pelaku ekonomi membuat kontrak dengan
negara sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Dengan model seperti ini,
diandaikan tidak ada eksploitasi antarpelaku ekonomi, seperti dalam sistem
ekonomi kapitalis. Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan antarpelaku
ekonomi juga tidak akan terjadi.
Ekonomi
Kelembagaan dan Demokrasi
Demokrasi
sebagai sistem politik yang diharapkan bisa memberikan pengaruh positif terhadap
kegiatan ekonomi, dalam perkembangannya tidak mesti menunjukkan gejala yang menggembirakan.
Pasalnya, beberapa variabel penting dalam demokrasi, seperti hak kepemilikan
dan kebebasan memilih tempat tinggal, juga dimiliki oleh sistem politik
lainnya. Sebaliknya, kelebihan yang dimiliki oleh sistem politik lainnya,
seperti kecepatan dalam pengambilan keputusan, justru absen dalaill sistem
politik demokratis. Dari sisi ini, demokrasi sesungguhnya hanya bisa
menggaransi dua hal penting, yakni hak-hak politik (political rights) dan
kebebasan sipil (civil liberties), dan kurang memberikan jaminan secara
langsung bagi penumbuhan ekonomi. Hak-hak politik adalah hak berpartisipasi memaknai
proses politik, sedangkan kebebasan sipil adalah hak menyatakan ekspresi,
mengorganisasi, dan melakukan
demonstrasi, dan hak memeroleh otonomi dalam hal kebebasan beragama,
pendidikan, perjalanan, dan hak personal lainnya. Tentu saja pemaknaan
demokrasi sepetti ini masih dalam lingkup prosedural, karena semua hal tersebut
bisa diperoleh lewat cara yang tidak substansial.
Di
seberang lainnya adalah sistem politik otoriter yang tidak memberikan tempat
bagi kelompok sipil menyalurkan aspirasi politik dan kebebasan privat lainnya.
Dalam sistem politik ini negara melakukan kontrol menyeluruh terhadap seluruh
aspek kehidupan, sehingga sering kali batas antara negara dan hukum menjadi
sangat tipis. Sistem politik otoriter mengasumsikan negara bisa melakukan semua
hal yang menjadi kebutuhan konstituennya, termasuk kesanggupannya memaksakan
semua hal yang menjadi cita-citanya. Dalam beberapa kasus negara-negara yang
menggunakan sistem politik ini sebagai instrumen untuk mengelola masyarakatnya,
terlihat betapa negara sangat percaya diri dalam hal mengoleksi informasi, merumuskan
kebijakan, dan mengimplementasikan program tanpa melalui kelembagaan lain yang
hidup dalam masyarakat. Pada sisi ini, kelebihan dari sistem ini adalah
efektivitasnya dalam setiap pengambilan keputusan, sedang di sisi lainnya
persoalan yang selalu muncul adalah ketidakakuratan kebijakan yang dibuat
karena sering kali menggunakan informasi yang kabur.
Perubahan
Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi
Kajian
yang menguliti hubungan antara kelembagaan dan pembangunan ekonomi memang belum
banyak dilakukan oleh para ahli. Tetapi dari sedikit penelitian tersebut
terdapat sebuah fakta berikut. Negara-negara yang telah dikelompokkan
berdasarkan ketersediaan aturan main hak kepemilikan, investasi modal manusia
(human capital/pendidikan), dan kinerja ekonomi menunjukkan hubungan yang kuat
antara peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita awal yang tinggi (initial per capita
income) tidak memberikan jaminan bagi kinerja perekonomian yang bagus dalam
jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang pendapatan awal per kapitanya
tidak terlalu tinggi, letapi memiliki keunggulan dalam menjamin hak
kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi publik yang elisien,
justru menghasilkan kinerja perekonomian yang menonjol. Contoh mikro tentang
pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi tersebut bisa dianalisis
sebagai berikut. Transaksi ekonomi (pertukaran/jual beli) masyarakat di
negara-negara yang kelembagaannya kuat, cenderung akan lebih banyak menggunakan
cek, transfer antarbank, maupun surat-surat berharga lainnya dibandingkan
dengan menggunakan uang tunai. Mereka bisa melakukan itu karena percaya bahwa
pemakaian instrumen tersebut tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya klaim
uangnya ditolak. Kalaupun akan muncul petnasalahan pasti terdapat aturan yang
memungkinkan semua pelaku transaksi tidak akan dirugikan, misalnya karena
adanya penipuane Tetapi, sebaliknya, dalam sebuah negara yang sistem
perbankannya rapuh, sangat sulit bagi setiap individu untuk memakai instimmen
itu untuk melakukan transaksi karena adanya ketidakpastian (risiko). Mereka
lebih memilih menggunakan uang tunai sebagai alat transaksi. Tentu saja model
ini akan menimbulkan inefisiensi jika transaksi berjumlah besar dan jaraknya
saling berjauhan, sehingga dampaknya bisa mengerem percepatan kegiatan ekonomi.
Sedangkan
kasus makro bisa diambilkan dari hubungan antara hak kepemilikan dan investasi.
Negara-negara yang jaminan hak kepemilikannya lemah cenderung akan ditinggal
oleh investor, baik domestik maupun asing. Investor asing takut melakukan
ekspansi modal karena sewaktu-waktu perusahaannya bisa dinasionalisasi,
sedangkan usahawan domestik ragu membuka investasi karena khawatir kontraknya
dibatalkan oleh pemerintah. Tentu saja peristiwa tersebut akan menghambat laju
pertumbuhan ekonomi karena tidak ada insentif bagi orang untuk mengerjakan
investasi. Dari sini bisa dipahami mengapa setiap undang-undang mengenai PMA
(Penanaman Modal Asing) di sebuah negara selalu diterangkan secara detail
mengenai jaminan hak kepemilikan agar investor asing memiliki kepastian hukum
atas kepemilikan lahan dan perusahaanya. Tanpa jaminan yang eksplisit tersebut
bisa dipastikan investor takut untuk membuat keputusan investasi karena adanya
ruang ketidakpastian (uncertainty), suatu variabel yang penting dalam kegiatan
ekonomi. Pada negara yang sedang melakukan proses transisi ekonomi, biasanya
terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja
perekonomian. Pada level makro ekonomi, setidaknya ada lima isu penting yang
sering ditelaah, yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan gaji anggaran
delisit, nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan
investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro isu
yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal,
penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan, dan mempromosikan
kompetisi. Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa
diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonorni dari
serba negara (state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar. Negara-negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara, biasanya pada
level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi
agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran
yang besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan
lebih ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro harga cenderung
dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat
monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak
kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-negara
yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya sangat tidak
efisien.
Masih Adakah Tempat untuk Negara?
Di
samping memiliki fungsi rasional, negara juga wajib mengemban peran etis untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan penduduk yang menjadi
bagian dari eksistensinya. Maksud etika di sini bukan sekadar suatu pemikiran
sistematis tentang moral, melainkan lebih dari itu adanya suatu pemahaman yang
selalu menanyakan secara kritis dan mendasar terhadap segala hal, atau
keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk
mengetahui bagaimana manusia (negara) seharusnya menjalankan kehidupannya. Dari
kacamata ini, tidak dibenarkan sebuah upaya apapun dikerjakan dengan jalan
menenggelamkan individu (komunitas) yang satu di atas hura-hura individu
(komunitas) yang lain. Program-program rasional dari pembangunan pada ujungnya
tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara. Jika setiap
pergerakan rakyat cuma mengajak segelintir pelaku ekonomi, maka peran etis
negara wajib menghentikan program pembangunan tersebut. Cara pandang ini tentu
saja tidak berseberangan dengan upaya modernisasi, tetapi hanya memastikan
bahwa proses menuju kemajuan harus berlandaskan kepada cita-cita filsafat politik yang sudah
dirumuskan. Fakta yang tidak bisa ditolak, setiap kebijakan pembangunan pasti
dianggap merupakan proses menuju kemajuan dan kemakmuran bersama. Tetapi yang
sering dialpakan, apakah proses pembangunan tersebut benar-benar telah didalami
dan dipandu dengan nilai-nilai dasar negara sehingga pengerjaannya tidak
mencederai sekelompok masyarakat tertentu. Hal inilah yang menjadikan
pertanyaan-pertanyaan etis wajib terus dikumandangkan demi menjaga kemaslahatan
bersama. Dari sinilah unsur etika bisa masuk dan sangat berperanan penting
dalam menghitung setiap nisbah pembangunan yang dilaksanakan.
Sedangkan
dalam perspektif ekonomi kelembagaan, peran negara difokuskan untuk membentuk
kerangka kelembagaan yang dapat mengatur kegiatan ekonomi, hak kepemilikan, penegakan, dan eksekusi hukum yang menghasilkan biaya
transaksi. Dengan begitu, jika peran negara dalam kegiatan ekonomi bisa dibagi
dalam empat klasifikasi, yakni stabilisasi makro ekonomi, mengoreksi kegagalan
pasar, redistribusi pendapatan, dan mengarahkan proses penyatuan kegiatan
ekonomi; maka peran yang terakhir merupakan wilayah yang menjadi konsentrasi
peran negara dalam perspektif ekonomi kelembagaan. Maksudnya, peran negara
lebih diarahkan untuk mendesain kegiatan ekonomi secara lebih efisien
berdasarkan kesetaraan informasi dan posisi tawar antar aktornya. Sedangkan tiga
peran negara yang paling awal menjadi fokus dari pendekatan ekonomi
klasik/neoklasik dan Keynesian. Tentu saja ada banyak variasi derajat intervensi
negara untuk mengatur kegiatan
perekonomian tersebut. Dari beberapa kasus negara-negara yang mengadopsi
derajat intervensi tersebut, memang jarang negara (berkembang) yang mengambil
model ekstrem (min/min atau max/max); kebanyakan negara mengambil
model antara posisi tinggi/tinggi (intervensi ekstensif dengan tekanan pasar
dikombinasikan dengan intervensi birokrasi) dan posisi rendah-rendah
(intervensi selektif dengan sistem pasar bebas berpasangan dengan campur tangan
minimal dalam sistem hak kepemilikan privat).
Daftar pustaka
Erani Yustika,
Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan
(Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Erlangga,Jakarta.
#TUGAS12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar