Pada
minggu ini saya akan mereview materi tentang “Teori Modal Sosial”, meski saat ini presentasi sudah
memasuki materi Teori Perubahan Kelembagaan. Sama-sama berasal dalam cabang
ilmu sosial, pendekatan ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi selama ini dianggap
saling menegasikan.
Dalam mengidentifikasi dan menguliti persoalan-persoalan pembangunan, misalnya, pendekatan
ilmu ekonomi (klasik neoklasik) menganggap bahwa kelembagaan (informal) yang
hidup dalam struktur sosial tidak
memiliki pengaruh terhadap kegiatan ekonomi (investasi,
distribusi, konsumsi, dan lain-lain). Sebaliknya, pendekatan ilmu sosiologi
menentang asumsi-asumsi
rasionalitas material (yang diusung oleh ilmu ekonomi) sebagai desain strategi
pembangunan. Di luar itu, analisis ekonomi yang cenderung sangat kuantitatif
dianggap oleh para sosiolog sangat mendangkalkan kontpleksitas relasi sosial
yang ada di masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang diproduksi
selalu gagal beroperasi.
Akar dan Definisi Modal Sosial
Teori modal sosial pertama kali sesungguhnya dipicu oleh tulisan Pierre
Bourdieu yang dipublikasikan pada akhir tahun 1970-an. Judul tulisan Bourdieu
tersebut antara lain adalah Le Capital Social: Notes
Provisoires ,
yang diterbitkan dalam Actes de la Recherche en
Sciences Sociales (1980).
Namun, karena publikasi tersebut dilakukan dalam bahasa Perancis, membuat tidak
banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian.
Setelah James S. Coleman mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993,
barulah para intelektual mengunduh tema tersebut sebagai salah satu santapan penting yang mempertemukan antardisiplin
ilmu. Akhirnya, hingga saat ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa
Coleman merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep modal sosial,
seperti yang ia tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul Social
Capital in the Creation of Human Capital (1988). Dengan modal ekonomi yang dimiliki
seseorang/perusahaan bisa melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh
dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Hal
inilah yang menyebabkan Coleman mendefinisikan modal sosial berdasarkan
fungsinya.
Menurumya,
modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung
dua elemen: (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial; dan
(ii) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) baik individu maupun perusahaan- di dalam
struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif ini, sama
halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni
membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya
tidak eksis. Selanjumya, Baker
mendefinisikan modal sosial sebagai sumberdaya yang diraih
oleh pelakunya melalui struktur sosial yang spesifik dan kemudian digunakan
untuk memburu kepentingannya; modal sosial tersebut diciptakan lewat
perubahan-perubahan dalam hubungan antarpelakunya. Sedangkan Schiff mengartikan
modal sosial sebagai seperangkat elemen dari
struktur sosial yang memengaruhi relasi antarmanusia dan sekaligus sebagai
input atau argumen bagi fungsi produksi dan/atau manfaat (utility). Selain itu,
Burt memaknai modal sosial sebagai teman, kolega, dan lebih
umum kontak lewat siapa pun yang membuka peluang bagi pemanfaaat modal ekonomi
dan manusia .
Demikian pula dengan Uphoff yang menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan
sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya,
kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang
memengaruhi perilaku kerjasama. Sementara itu, Pumam mendefinisikan modal
sosial sebagai gambaran organisasi
sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan . Seluruh definisi
tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa modal sosial baru terasa bila
telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial.
Seluruh
uraian tersebut membawa kepada satu nuansa, bahwa secara umum modal sosial bisa
didekati dari dua perspektif. Pertama mengkaji modal sosial dari perspektif
pelaku (actor’sperspektive) yang
diformulasikan oleh Bourdieu yang melihat modal sosial berisi sumber daya
dimana pelaku individu dapat menggunkannya karena kepemilikannya terhadap
jaringan secara eksklusif (exclusive
networks). Yang kedua mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat
yang dikonseptualisasikan pleh Pumam, yang melihat modal sosial sebagai barang
publik yag diatur oleh organisasi dan jaringan horizontal yang eksis dalam
masyarakat.
Modal Sosial : Empat Perspektif
Bahwa dalam operasionalisasinya modal
sosial yang dilihat menurut fungsinya mengandaikan memiliki aspek struktur dan
kognisi. Jika dipilah dalam tiga penampakan, maka didapatkan sebuah
operasionalisasi modal sosial sebagai berikut :
Struktur
|
Kognisi
|
|
Sumber pengejawantahan
|
Peran
dan aturan, Jaringan dan hubungan interpersonal dengan pihak lain,prosedur
dan kejadian
|
Norma-norma,
nilai-nilai,perilaku,keyakinan
|
Cakupan (domains)
|
Organisasi
sosial
|
Budaya
sipil (civil culture)
|
Faktor dinamis
|
Ketertarikan
horizontal,ketertarikan vertikal
|
Kepercayaan,
solidaritas, kerjasama, kedermawanan
|
Elemen
bersama
|
Ekspetasi
yang mengarahkan kepada perilaku kerjasama yang saling menguntungkan
|
Selanjumya,
modal sosial sebagai jembatan bermakna tanpa adanya kelemahan ikatan antar
komunitas seperti keberagaman sosial yang dipacu oleh perbedaan agama, klas, emisitas,
jender, dan status sosial ekonomi, ikatan horizontal yang kuat dapat menjadi
basis bagi kepentingan sektarian yang sempit. Artinya, pencapaian modal yang
diinginkan bisa jadi mengabaikan kemungkinan bahwa hasil tersebut diperoleh
dengan jalan membebani kelompoklainnya sehingga sebetulnya pencapaian tersebut
tidak optimal , atau hasil yang diinginkan saat ini sebenarnya akan menimbulkan
biaya dikemudian hari. Dalam level yang lebih makro, jembatan sosial dapat
dikaitkan dengan tata kelola yang menghasilkan pencapaian ekonomi. Empat perspektif modal
sosial antara lain:
Perspektif
|
Pelaku
|
Preskripsi
kebijakan
|
Perspektif komunitarian
Asosiasi lokal
|
Kelompok
komunitas
|
Kecil
itu indah, mengidentifikasi aset sosial kaum miskin
|
Perspektif jaringan
Ikatan dan
jembatan, ikatan komunitas
|
Wirausahawan,
kelompok bisnis, perantara informasi
|
Desentrialisasi,
menciptakan zona usaha, menjembatani pemisah sosial
|
Perspektif kelembagaan
Kelembagaan
politik dan hukum
|
Sektor
privat dan publik
|
Desain
kebebasan sipil dan politik
|
Perspektif sinergi
Jaringan
komunitas dan relasi negara masyarakat
|
Kelompok
komunitas, masyarakat sipil, perusahaan dan negara
|
Produksi
bersama, partisipapsi komplementaritas,keterkaitan dan penguatan kapasitasdan
skala organisasi lokal
|
Modal Sosial : Implikasi Negatif
Meskipun
konsep modal sosial diakui eksistensinya dan relevansinya dalam dataran
teoritis maupun empiris, namun masih banyak ketidaksepakatan menyangkut
beberapa hal mendasar sehingga menimbulkan kontroversi yang tidak berujung
hingga kini. Dalam identifikasi yang mendalam, setidaknya kontroversi meyangkut
konsep modal sosial ini bisa dibagi dalam empat isu antara lain sebagai
berikut;
Isu
|
Isi
|
Masalah
|
Aset kolektif atau individu (Coleman, Pumam)
|
Modal
sosial sebagai aset kolektif
|
Membaur
dengan norma kepercayaan.
|
Jaringan terbuka ( Bourdieu, Coleman, Pumam)
|
Kelompok
harus tertutup dan rekat
|
Visi
klas masyarakat dan ketiadaan mobilitas
|
Fungsional (Coleman)
|
Modal
sosial diindikasikan oleh efeknya terhadap tindakan tertentu
|
Tautologi
(sebab ditentukan oleh efekya)
|
Pengukuran (Coleman)
|
Tidak
bisa dikuantifikasi
|
Heuristik,
tidak dapat salah
|
Di
luar kontroversi di atas, bahasan tentang konsep modal sosial selama ini
didominasi oleh cara pandang yang terlalu positif. Artinya, menempatkan modal
sosial sebagai variabel yang dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan
bersama, misalnya dalam pembangunan ekonomi. Padahal, modal sosial yang
bertumpu kepada interaksi antarmanusia dalam struktur sosial yang inheren
didalamnya, bisa saja menimbulkan implikasi negatif misalnya alokasi kegiatan
ekonomi. Dalam salah satu risalahnya, Yoram Ben Porath (dalam Coleman, 1988;96)
mengembangkan konsep yang sangat dekat dengan pengertian modal sosial, yakni
yang disebut sebagai ‘F-connection’. F-connection terdiri dari families
(keluarga), friends (teman), firms (perusahaan). Jika dikembangkan lebih jauh,
bisa jadi hubungan keluarga dan pertemanan bisa bermanfaat bagi seseorang untuk
mendapatkan pekerjaan atau karier yang lebih bagus. Sebagai contoh yang lebih
sederhana, transaksi dengan seorang teman tentu akan lebih mudah dilakukan
daripada dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya. Tetapi, konsep
f-conecction tersebut, dan secara lebih jauh konsep tentang teori modal sosial,
dapat memiliki implikasi negatif terhadap pertukaran ekonomi atau kegiatan
ekonomi lainnya secara keseluruhan.
Beberapa
studi terbaru sekurang-kurangnya
menunjukan empat konsekuensi egatif dari modal sosial antara lain pengucilan
dari pihak luar, dampak klaim terhadap anggota kelompok, rintangan kebebasan
individu, dan penyempitan ruang lingkup dan norma. Dalam beberapa hal keempat
konsekuensi negatif dari modal sosial tersebut nyaris tidak terbantahkan,
bahkanbahkan ditengarai menjadi penyebab terpenting terjadinya keterbelakangan
ekonomi dinegara berkembang. Modal sosial yang secara netral lebih banyak
dimaknai sebagai energi terpenting bagi individu untuk menangkap dan
memanfaatkan peluang melalui struktur sosial yang tersedia, ternyata secara
empiris dapat menjadi sumber kegagalan bagi sebuah sistem untuk bekerja
mencapai tujuan yang diinginkan. Inilah yang menyebabkan sistem yang dibangun
di negara berkembang sulit berjalan karena diganjal dalam tahap
implementasinya.
Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Dalam
konteks ilmu ekonomi, seperti halnya modal ekonomi dan pemhahasan modal sosial
sudah barang tentu direlasikan dengan pencapaian (pembangunan) ekonomi. Jadi,
meskipun kelahiran konsep modal sosial dipicu dari ranah bidang ilmu
sosiologi, begitu sampai dalam kupasan bidang ekonomi dianggap sebagai bagian dari
bentuk modal yang diharapkan memiliki donasi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Upaya untuk melakukan terobosan pembahasan ini sudah berlangsung
lama, khususnya semenjak isu modal sosial mulai diperhatikan secara intensif
pada awal dekade 1990-an. Jika dibagi dalam
level studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan
antara modal sosial dan pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua
karakteristik berikut: (i) penelitian hulu yang mencoba mencari landasan
teoretis yang merelasikan modal sosial dengan pembangunan ekonomi; dan (ii)
penelitian hilir yang berusaha melacak implikasi modal sosial terhadap
pembangunan ekonomi. Kedua studi tersebut masing-masing sudah menyumbangkan
khasanah pemikiran matang, sehingga Saat ini telah tersedia beberapa argumentasi
teoretis empiris untuk menjelaskan hubungan antara modal sosial dan pembangunan
ekonomi.
Sebelum mengupas masalah hubungan antara
modal sosial dan pernbangunan ekonomi,
terlebih dulu akan dipaparkan perbedaan antara pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Dalam perspektif
rasionalitas transaksional, yang secara tipikal digunakan untuk melakukan
analisis pertukaran ekonomi, tujuan utamanya adalah memperoleh modal ekonomi (sumber
daya melalui transaksi) dan kepentingan dalam aspek transaksional pertukaran
yang dimediasi oleh
harga dan uang. Kegunaan dari pertukaran
adalah untuk mengoptimalisasi
keuntungan transaksional
sedangkan pilihan
rasional didasarkan kepada analisis hubungan-hubungan alternatif yang memproduksi beragam
keuntungan dan biaya transaksional. Dengan basis ini, aturan-aturan penukaran
berperan dalam dua hal. Pertama,
jika hubungan dengan
agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka keputusannya adalah melanjutkan
hubungan transaksi berikumya. Kedua, bila hubungan tersebut gagal menghasilkan
laba relatif, maka ada dua pilihan yang dapat diambil: (1) menemukan hubungan
alternatif yang bisa memproduksi keuntungan; atau (2) merawat hubungan
tersebut, tetapi dengan berupaya mengurangi biaya transaksional. Keputusan di
antara dua pilihan itu didasarkan kepada bobot relatif yang mungkin diambil
dari kemungkinan memeroleh keuntungan atau mengurangi biaya transaksi. Dengan
begitu, analisis kritis dalam pertukaran ekonomi memfokuskan kepada transaksi
simetris dalam episodis atau transaksi yang berulang.
Hubungan
antara modal sosial dan pembangunan ekonomi tersebut juga bisa dilacak dari sisi
lain. Kegiatan ekonomi selalu berupa kerja sama (baik dalam pengertian
kompetisi maupun saling-bantu) antarpelakunya, apa pun motif yang ada di
baliknya (profit, status, harga diri, preferensi, dan lain-lain). Sedangkan
kerja sama itu membutuhkan kepercayaan (trust), yang dalam ekonomi modern dapat
digantikan dengan mekanisme formal untuk mencegah kecurangan/penipuan, seperti
sistem kontrak. Tapi, formalitas itu sendiri tidak akan pernah menggantikan
kepercayaan karena sisten kontrak hanyalah instrumen pendukung (bukan utama).
Sampai di sini, pandangan paling agung dari modal sosial menyatakan bahwa kerja
sama tergantung dari kepercayaan. Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan
tinggi (high trust societies) akan sanggup melakukan kerja sama sampai level
organisasi yang sangat besar, semacam korporasi transnasional. Sebaliknya,
masyarakat yang tingkat kepercayaannya rendah (low trust societies) kerja sama
yang dapat digalang hanya sampai pada level terbatas, misalnya perusahaan yang
berbasis keluarga (family based-firms). Jadi, dalam hal ini, harus dipahami
modal sosial sebagai sumber daya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau
hasil (outcome) pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan prakondisi bagi
tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Daftar pustaka
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan
Kebijakan). Erlangga,Jakarta.
#TUGAS9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar