Sabtu, 26 November 2016

Ekonomi Kelembagaan dan Pertumbuhan Ekonomi Serta Strategi Pembangunan Ekonomi


Pada minggu ini saya akan mereview yang sama pada saat presentasi yaitu 2 bab sekaligus dengan materi “Ekonomi Kelembagaan dan Pertumbuhan Ekonomi Serta Strategi Pembangunan Ekonomi”. Awalnya tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi sasaran penting dalam pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan meningkatnya tingkat pendapatan riil per kapita penduduk di suatu negara dalam jangka panjang. Tidak hanya peningkatan pedapatan riil saja yang menjadi acuan pertumbuhan ekonomi disuatu negara. Sistem kelembagaan yang semakin baik pun juga merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi disuatu negara. Selain itu, fokus dari ekonomi kelembagaan pada level makro adalah menyiapkan dasar produksi, pertukaran, dan distribusi dari berbagai macam aspek. Setiap negara perlu menyiapkan berbagai macam strategi pembangunan ekonomi sebagai dasar penyusunan kelembagaan ekonomi. Strategi pembangunan ekonomi akan berimplikasi pada kesepakatan kelembagaan pada level mikro. Strategi pembangunan ekonomi merupakan kunci untuk menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai beberapa strategi pembangunan ekonomi dan pengaruhnya terhadap kelembagaan ekonomi.
Model pertumbuhan ekonomi milik Harrod – Domar dan Solow merupakan model pertumbuhan yang paling populer. Fokus dari model pertumbuhan ini adalah faktor – faktor produksi berupa stok modal dan tenaga kerja. Produk nasional bruto (PNB) pada level nasional menjadi ukuran dari pendeskripsian fungsi produksi untuk hubungan antara tenaga kerja dengan stok modal.  Sedangkan pada perusahaan, fungsi produksi di dabstraksikan oleh seberapa banyak peningkatan pada output yang akan dihasilkan apabila jumlah tenaga kerja dan stok modal yang digunakan meningkat. Sedangkan faktor produksi yang lainnya dianggap tetap. Pada titik ini, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh variabel ekonomi makro, seperti tabungan, investasi, dan penduduk.
Saat ini, proses produksi barang dan jasa dipengaruhi oleh inovasi dan perkembangan teknologi. Dalam hal ini, teknologi menjadi faktor penting dalam fungsi produksi. Teknologi dimasukkan kedalam fungdi penting produksi bersama dengan modal, tenaga kerja, dan tanah. Pertumbuhan ekonomi dengan memasukkan teknologi sebaga salah satu faktor penting menjadi penyebab lahirnya “teori pertumbuhan baru”. Dalam teori pertumbuhan baru, model pertumbuhan dinamis mendesain pertumbuhan ekonomi yang bisa menangkap peran ilu penegtahuan untuk mempercepat inovasi dan perubahan teknologi. Dengan adanya peningkatan teknologi, efisiensi perekonomian akan meningkat. Perbaikan teknologi akan menyebabkan proses produksi dan konsumsi akan meningkat pula. Sehingga masyarakat akan meperoduksi dan mengkonsumsi lebih banyak dari sebelumnya.
Pada praktik organisasi ekonomi yang lebih kongkret, Hage dan Finsterbusch mengidentifikasi empat model organisasi yang efektif untuk diterapkan. Pertama, model birokrasi mekanik adalah model yang cocok untuk produksi dengan teknologi sederhana dalam pasar yang besar. Kedua, model profesional organic adalah tipe yang tepat untuk produksi dengan teknologi yang kompleks dengan pasar yang kecil. Ketiga, model kerajinan tradisional adalah bentuk organisasi yang tepat untuk produksi dengan teknologi sederhana dan pasar yang kecil. Keempat, model perpaduan organic mekanik adalah model yang tepat untuk produksi dengan teknologi yang kompleks dan pasar yang besar. Dalam pandangan makro, salah satu isu utama terkait dengan perusahaan adalah masalah kepemilikan. Pilihan antara publik dan pribadi tergantung pada bagaimana pola kepemilikan yang berbeda memengaruhi insentif untuk mengantarkan kualitas non-kontrak. Untuk memfokuskan pada efisiensi maupun kualitas, Hart, Sheiler dan Vishny (1997) mempertimbangkan dua jenis insentif investasi: untuk mengurangi biaya dan untuk memperbaiki kualitas atau berinovasi (Shleifer, 1998). Kontraktor yang diregulasi swasta memiliki insentif yang lebih besar karena sebagai pemilik, mereka mendapatkan banyak pendapatan dari investasi. Efisien atau tidaknya struktur kepemilikan tergantung apakah mempunyai insentif untuk investasi dan inovasi.
Sementara itu, isu tata kelola korporasi sendiri muncul dalam organisasi bilamana dua kondisi muncul. Pertama, ada masalah tentang agensi; mungkin pemilik, manajer, pekerja, atau konsumen. Kedua, biaya transaksi, yakni bila masalah agensi ini tidak dapat dilakukan melalui kontrak. Dalam dunia kontrak yang tidak lengkap (dimana masalah agensi juga ada), struktur tata kelola tidak akan memiliki peran. Struktur tata kelola mengalokasikan hak-hak kontrol terhadap aset non-manusia dari perusahaan, yaitu hak untuk memutuskan bagaimana aset-aset ini harus digunakan, karena pemanfaatannya sejak awal belum ditentukan di dalam kontrak. Di dalam konteks tata kelola korporasi, salah satu isu penting adalah mekanisme untuk mengontrol manajemen. 
Ada beberapa mekanisme untuk mengontrol manajemen yang terdapat dalam kelola korporasi, yaitu:
  1. Model komisaris: pemegang saham memilih komisaris bertidak mewakili kepentingan mereka, dan badan ini sbeliknya memonitor manajemen puncak dan meratifikasi keputusan penting. Badan ini juga terdiri dari eksekutif dan direktur non-eksekutif yang orang luar.
  2. Model perjuangan perwakilan: tentu saja, jika kinerja anggota komisaris cukup buruk maka pemegang saham dapat menggantikannya.
  3. Model pemegang saham besar: pemegang saham kecil memiliki sedikit insetif untuk memonitor manajemen atau meluncurkan model perjuangan perwakilan.
  4. Model pengambilalihan paksa: pengambilalihan paksa pada prinsipnya merupakan mekanisme yang jauh lebih kuat untuk mendisiplinkan manajemen, karena model ini memungkinkan seseorang yang berhasil mengidentifikasi kinerja perusahaan kurang baaik bakal mendapatkan penghargaan yang besar.
  5. Model struktur keuangan: sumber disiplin lain yang penting bagi manajer adalah adanya insentif yang diberikan melalui struktur keuangan korporasi, khususnya pilihan perusahaan dalm melakukan utang.
       Negara yang sedang dalam proses industrialisasi akan mencoba strategi pembangunan yang mengkomparasikan ekonomi berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif. Nicolini (2011 : 162) menyebutkan bahwa ada 2 sumber keunggulan komparatif, yaitu modal dan tenaga kerja terampil. Suatu negara memiliki keunggulan komparatif jika dalam kegiatan-kegiatan ekonominya banyak menggunakan faktor-faktor produksi yang relatif lebih tersedia di negara itu daripada negara-negara lain yang merupakan mitra dagangnya. Namun, konsep keunggulan komparatif disebutkan sudah tidak relavan lagi dan kurang memadai untuk menentukan keberhasilan ekonomi. Maka dari itu, perlu diganti dengan keunggulan kompetitif  yang lebih berguna bagi perumusan kebijakan ekonomi karena memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi daya saing industri. Faktor tersebut antara lain persaingan sehat antarindustri, adanya diferensiasi produk, dan kemampuan teknologi. Faktor teknologi inilah yang menjadi salah satu titik perdebatan antara keunggulan komparatif dengan kompetitif.
Pemahaman dalam pandagan keunggulan komparatif akan mempengaruhi pilihan pengambilan kebijakan ekonomi di suatu negara. Masalah kebijakan perdagangan sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Untuk itu teori-teori mengenai substitusi impor untuk  pembangunan diperlukan kebijakan khusus dalam konteks strategi negara berkembang ada yang berorientasi ke luar dan ke dalam. Kebijakan substitusi impor (import substitution) adalah kebijakan memproduksi di dalam negeri terhadap barang-barang yang tadinya diimpor. Kebijakan ini paling sering ditempuh pada tahap awal pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan industri. Negara-negara berkembang mulai mengganti kebijakannya dengan lebih mengedepankan ekspor karena menyadari strategi SI tidak membuahkan hasil. Kebijakan ekspor lebih menekankan pada pemberian insentif yang bisa memacu ekspor. Negara-negara ini akan selektif dalam memilih sektor ekonomi yang akan diberikan insentif sehingga akan menembus pasar internasional. Industrialisasi yang tepat bertumpu pada 2 hal, yaitu penerapan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor (outward oriented) dan pemahaman konsep keunggulan komparatif yang tepat. Aspek kelembagaan yang paling penting untuk memperkuat orientasi ekspor itu setidaknya ada 3 variabel, yaitu korupsi, kualitas birokrasi, serta hak kepemilikan.
Tahun 1900-an seluruh negara baik maju maupun berkembang berduyun-duyun mulai memperbaiki perekonomiannya. Jika di negara maju mereka berfokus pada hubungan keuangan intrapemerintah agar bisa mengimbangi perkembangan perekonomian yang semakin kompleks sedang di negara berkembang mereka fokus kepada desentralisasi fiskal yang menurut mereka salah satunya cara untuk mengatasi masalah-masalah perekonomiannya dan juga keadaan ekonomi yang belum stabil. Desentralisasi adalah menyerahkan level pelayanan masyarakat ke tingkat wilayah administrasi yang paling rendah (Yustika, 2013:210). Jadi setiap daerah berhak mengelola daerahnya sendiri tanpa campur tangan pusat tetapi tetap dalam rangka untuk mensukseskan tujuan pusat. Desentralisasi dianggap sangat efektif karena pelimpahan kekuasaan tersebut tepat sasaran, yakni kepada pelaku pemerintah yang bertugas di daerah tersebut. Tidak semua aspek masuk dalam tatanan desentralisasi seperti keamanan, kebijakan fiskal dan hukum. Pelimpahan kekuasaan atau di sebut juga otonomi daerah ini menjadikan tugas pemerintah daerah mudah karena hanya mengurusi daerahnya dan melaporkan pertanggungjawaban ke pemerintah pusat.
Privatisasi adalah pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi atau juga dari kepemilikan pemerintah menjadi milik swasta. Privatisasi ini agar profesionalitas sebuah lembaga atau perusahaan lebih professional, mengurangi beban pemerintah dan juga kembali membuaka kepercayaan publik tentang transparansi. Tetapi jika sebuah negara melakukan privatisasi yang terus-menerus maka akan mengurangi pendapatan negara yang terus menerus bisa menyebabkan kebangkrutan. Tujuan dari privatisasi adalah penyesuaian structural bagi negara berkembang, dimana tujuan tersebut adalah pengalihan pengelolaan kegiatan ekonomi dari negara ke pihak swasta. Strategi big-bang approach banyak diterapkan di Asia yaitu dengan perluasan otonomi dan akuntabilitas. Negara-negara di Eropa Timur menyukai privatisasi dalam artian sempit yaitu kerja BUMNnya di reformasi. Berarti negara di Asia lebih percaya bahwa dalam mengembangkan perusahaannya diperlukan otonmi dan akuntabilitas bukan kepada kepemilikannnya sedang daerah Eropa Timur lebih menganggap bahwa perusahaan akan efisien jika dikelola oleh swasta daripada negara. Meskipun demikian, desentralisasi yang bisa berarti pemerintah pusat lepas tangan dari pengelolaan pemerintah daerah bisa menjadi sarana untuk korupsi, kolusi dan nepotisme.

Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan.Erlangga: Malang.


#TUGAS11 








Sabtu, 19 November 2016

Teori Perubahan Kelembagaan


Akhirnya presentasi sudah sampai pada materi bab 10 dan 11 yang digabung tetapi resumenya masih dari bab 9, langsung saja pada reseume kali ini materinya “Teori Perubahan Kelembagaan”. Bahwa kelembagaan tidaklah statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antarkepentingan. Di luar itu, dari kelembagaan juga disebabkam oleh  berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur kegiatan ekonomi. Dari dua pendekatan tersebut, bisa diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat teori yang diperlukan sebagai pemandu proses perubahan kelembagaan.

Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen
Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip, regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju pada peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan, sementara pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan tersebut bisa berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Dalam posisi ini, perbedaan dan integrasi merupakan proses pelengkap/complementary process. Tentu saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi, yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal dan sebagainya. Dengan demikian, perubahan  kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Oleh karena utama dari setiap perubahan, kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Tentu saja, basis utama dari transformasi permanen adalah kesadaran bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-bidang lainnya. Perubahan-perubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan-rintangan informal/informal constraints (norma-norma, konvensi, atau kejujuran personal) dapat memberikan implikasi yang sama seperti perubahan dalam peraturan formal (misalnya, hukum) masyarakat. Perubahan bisa terjadi secara bertahap dan kadang-kadang secara  cepat karena individu mengembangkan pola-pola perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan sosial) sebagai respons atas proses evaluasi biaya dan keuntungan baru yang dirasakan (North, 1993; seperti dikutip oleh Dharmawan, 2001:31-32). Jika dipadatkan, pernyataan berikut ini membawahi lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan (North, 1995:23):
  1. Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi, merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan.
  2.  Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuam yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.
  3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki hasil maksimum (maximum pay-off).
  4. Persepsi berasal dari konsfruksi/bangunan mental para pemain/pelaku (mental constructs of the players).
  5. Cakupan ekonomi, komplementaritas, dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki jalur ketergantungan (path dependent).

        Selanjutnya, North percaya terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk memahami dinamika perubahan kelembagaan (Hira dan Hira, 2000:273). Pertama, perubahan kelembagaan sebagai hubungan simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi di sekitar struktur insentif yang disediakan oleh kelembagaan. Kedua, perubahan kelembagaan sebagai proses umpan balik di mana individu merasa dan bereaksi terhadap perubahan berbagai kesempatan. Dengan kata lain, hubungan yang pertama menegaskan bahwa organisasi bersikap optimis untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan proposisi ini, North menyatakan terdapat tantangan mendasar dalam menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira, 2000:275-276), yakni menyingkirkan aspek-aspek infomal dengan halangan formal (aligning informal with formal constraint) dan menciptakan serta merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan yang efisien. Menyangkut rintangan yang pertama, North meyakini bahwa masyarakat menilai suatu sistem tersebut adil, kemudian meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal sehingga akan mengurangi  masalah tindakan kolektif. Sedangkan berkaitan dengan rintangan kedua, North merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas dana dalarn rangka mengurangi biaya informasi pemilih.

Perubahan Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan
Menurut North (1990:86), proses perubahan kelembagaan tersebut dapat digambarkan sebagai Berikut. Perubahan harga relatif mendorong satu atau kedua pihak mengadakan pertukaran, apakah politik atau ekonomi, untuk menunjukkan bahwa satu atau kedua belah pihak dapat bekerja lebih baik dengan kesepakatan atau kontrak yang telah diperbaiki. Tentu saja terdapat usaha-usaha yang harus dilakukan untuk menegosiasikan kembali kontrak tersebut. Tetapi, karena kontrak disusun dalam peraturan yang hierarkis, renegosiasi tidak mungkin dilakukan tanpa adanya restrukturisasi peraturan yang lebih tinggi. Dalam kasus ini, pihak yang ingin memperbaiki posisi tawarnya bisa berusaha memberikan sumber dayanya untuk mendorong restrukturisasi peraturan pada level yang lebih tinggi. Dalam kasus norma perilaku, perubahan harga relatif atau perubahan selera akan mendorong ke erosi secara perlahan menuju ke perubahan norma yang berbeda. Dalam selang waktu tertentu, peraturan itu bisa diubah atau diabaikan, bahkan tidak ditegakkan. Begitu pula adat atau tradisi bisa secara perlahan terkikis dan diganti dengan yang lain.
Sementara itu, Hira dan Hira (2000:272) menjelaskan perubahan kelembagaan dari perspektif yang berbeda. Pertama, perubahan kelembagaan terjadi sebagai reaksi dari faktor ekonomi baru, yang biasanya direfleksikan dengan adanya perubahan harga relatif dan selera. Kedua, wirausahawan (bisa organisasi maupun individu) mengeksploitasi seluruh potensi yang terdapat dalam sebuah sistem kelembagaan, yang ujung-ujungnya akan menghasilkan perubahan yang inovatif. Polski (2001 : 15) meyakini bahwa kelembagaan dapat berubah lewat salah satu dari dua cara ini. Pada aras ini, partisipan transaksi dapat mengubah secara hukum melalui formalisasi penulisan kembali peraturan, mengomunikasikan perubahan kepada mereka yang dipengaruhi, dan mengawasi serta menegakkan perilaku yang bertentangan dengan aturan baru yang telah diciptakan/disepakati. Alternatif lainnya, peraturan dapat mengubah secara de facto dengan jalan menghentikan pengawasan dan penegakan aturan yang ada, atau dengan memberikan interpretasi baru atas aturan yang telah ada lewat cara yang lebih liberal. Beberapa ahli ekonomi berargumentasi bahwa kelembagaan, yang eksis dalam perekonomian dan masyarakat, adalah efisien karena kelembagaan ini merupakan pencapaian potensial atau kompetisi nyata di antara alternatif kesepakatan-kesepakatan kelembagaan. Dalam konteks ini, tuntutan efektif terhadap perubahan kelembagaan pada dasarnya digunakan untuk mengubah (menurunkan) biaya transaksi. Perubahan kelembagaan yang dipicu secara pribadi akan terjadi jika biaya transaksi marginal berubah dan kelembagaan yang baru lebih efisien daripada kelembagaan yang lama.
Scott (dalam Challen, 2000:47) mengidentifikasi empat fase/model di mana perubahan kelembagaan telah terjadi dalam konteks historis: (i) perubahan spontan dan tidak berlanjut oleh revolusi dan penaklukan; (ii) perubahan spontan dan inkremental dari pemanfaatan tradisi dan perilaku umum; (iii) perubahan inkremental oleh proses pengadilan dan evolusi undang-undang umum; dan perubahan inkremental yang dilakukan oleh imperialis, birokrasi, atau politik. Jadi, tampak dari empat model tersebut, bahwa perubahan kelembagaan bisa dipicu oleh otoritas formal (lewat regulasi) maupun otoritas informal. Namun, setiap analis perubahan kelembagaan tidak dalam posisi untuk menentukan model perubahan kelembagaan mana yang lebih ideal. Hal paling maksimal yang bisa dilakukan oleh analis perubahan kelembagaan hanya memetakan segi kelemahan dan kekuatan dari masing-masing tipe perubahan kelembagaan. Lebih dari itu, setiap perubahan kelembagaan yang terjadi dalam proses pertukaran ekonomi selalu bersifat spesifik, sehingga model perubahan kelembagaan yang bagus untuk kegiatan ekonomi tertentu tidak lantas baik juga untuk aktivitas transaksi ekonomi lainnya. Pemahaman inilah yang mesti dimengerti agar formulasi Perubahan kelembagaan tidak diangankan sebagai proses mekanis yang hanya mempertimbangkan aspek-aspek teoretis semata.

Alat Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan
Seperti yang telah dipaparkan di muka, perubahan kelembagaan diperlukan mengingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan sendirinya menciptakan dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja ketiadaan kelembagaan formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan informal tetapi tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang (Diehl, 1998:51). Pada negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Pada level makro ekonorni, setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah. yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan defisit anggaran, nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada mikro isu yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar nwdal, penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan, dan mempromosikan kompetisi (Yeager, 1999:80). Isu makro dan mikro ekonomi pada tersebut bisa diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari serba negara menjadi dibimbing oleh pasar. Negara-negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro kebijakan harga cenderung dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya tidak efisien (Yustika, 2002:277-278). Dalam posisi seperti itu, setiap proses reformasi/transisi ekonomi cenderung mengubah secara drastis penampilan kebijakan ekonomi yang diintroduksi oleh negara, yakni dengan memberikan kesempatan kepada pasar untuk memegang kendali kegiatan ekonomi.
Di luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi/transisi ekonomi sarat dengan rintangan-rintangan politik yang seringkali tidak ramah. Setidaknya ada tiga palang/rintangan politik (political barriers) yang kerap terjadi untuk menelikung perjalanan refomasi ekonomi (Haggard dan Kaufman, 1995:156-157). Pertama, kebijakan reformasi ekonomi yang menyentuh barang-barang publik selalu menimbulkan masalah penunggang gelap, sehingga pada titik ini akan sangat mungkin bagi timbulnya tindakan kolektif. Jika penunggang gelap reformasi tersebut mendapatkan keuntungan yang berlebih, maka reformasi ekonomi berpotensi mengalami kegagalan. Kedua, dalam pandangan model distributif kebijakan reformasi diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang dan sekaligus akan dilawan oleh kelompok pecundang, sehingga hasil dari reformasi ekonomi akan sangat tergantung dari kekuatan politik di antara koalisi pemenang. Ketiga, masalah klasik dari reformasi ekonomi adalah biaya reformasi biasanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu, tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga keberhasilannya sangat tergantung kepada seberapa kuat perlawanan dari kelompok yang paling terkena dampak reformasi tersebut.

Organisasi, Pembelaiaran, dan Perubahan Kelembagaan
Dalam konteks ekonomi, perubahan kelembagaan selalu dikaitkan dengan atribut keuntungan yang bakal dinikmati oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Dengan diktum ini, perubahan kelembagaan memiliki keuntungan bagi masyarakat hanya jika biaya-biaya yang muncul akibat perlindungan hak-hak lebih kecil ketimbang penerimaan dari alokasi sumber daya yang lebih baik. Apabila biaya yang muncul terlalu tinggi, mungkin diperlukan langkah untuk mendesain kelembagaan nonpasar dalam rangka mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien (Hayami dan Ruttan, 1985:103). Dalam praktiknya, kegiatan transaksi ekonomi selalu memakai satu di antara dua instrumen berikut: pasar atau organisasi. Menurut Coase, pasar dan organisasi merupakan dua tipe ideal koordinasi dalam proses transaksi pertukaran. Pasar yang ideal dikarakteristikkan oleh fakta bahwa hukum harga sebagai kecukupan statistik bagi sumber pengambilan keputusan individu. Sebaliknya, organisasi yang ideal dicirikan sebagai keseluruhan bentuk koordinasi transaksi yang tidak mengunakan instrumen harga untuk mengomunikasikan informasi di antara pelaku-pelaku transaksi. Walaupun begitu, dalam operasionalisasinya, tentu pemisahan di antara dua model koordinasi tersebut tidak besifat hitam dan putih. Dalam banyak kasus, sebagian besar pasar juga terorganisasi. Sementara itu, kebanyakan organisasi juga memakai harga untuk mengomunikasikan informasi di dalam organisasi (Douma dan Schreuder, 2002: 11). Dalam konteks perubahan kelembagaan, koordinasi tersebut juga bisa menggunakan kelembagaan pasar dan organisasi. Sebagai salah satu instrumen/model kelembagaan, pasar akan menuntun proses perubahan kelembagaan berdasarkan kepentingan spontan dari masing-masing pelakunya. Di sini yang bekerja adalah sistem insentif yang akan diperoleh setiap pelaku sehingga mereka bereaksi apabila terdapat ruang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan organisasi akan memandu proses perubahan kelembagaan berbasiskan kesamaan tujuan dari individu-individu yang tergabung di dalamnya. Sebelum individu bergerak, terlebih dulu harus telah tercapai kesepakatan yang diterima oleh seluruh anggota organisasi.
Organisasi kartel merupakan contoh paling baik untuk mendeskripsikan koordinasi dengan memakai organisasi tersebut. Walaupun terdapat celah untuk mendapatkan laba yang lebih besar dengan jalan keluar dari kesepakatan, biasanya setiap anggota kartel enggan mencederai mufakat yang sudah dicapai. Jadi, perubahan kelembagaan yang mendasarkan kepada koordinasi organisasi dipastikan akan berjalan lebih rumit karena harus menunggu proses kesepakatan di dalam organisasi. Di samping itu, koordinasi dengan basis organisasi juga membutuhkan hal lain yang penting dalam proses perubahan kelembagaan, yakni pembelajaran. Penjelasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, organisasi didesain sebagai sebuah institusi/lembaga untuk mencapai tujuan dari para penciptanya. Organisasi tersebut diciptakan bukan sekadar sebagai fungsi dari rintangan-rintangan kelembagaan, tetapi juga halangan-halangan lainnya. Interaksi antara hambatan kelembagaan dan rintangan lainnya itu berpotensi untuk mencapai maksimalisasi kesejahteraan bagi para wirausahawannya, baik wirausahawan politik maupun ekonomi. Sebagai upaya mengatasi rintangan-rintangan itulah dibutuhkan pencarian pengetahuan yang terus-menerus. Bagi North (1990:73-76), insentif untuk mendapatkan pengetahuan itu tidak hanya dipengaruhi oleh struktur penghargaan  dan hukuman yang memiliki nilai material, namun juga akibat tolerasi masyarakat terhadap pembangunan pengetahuan itu sendiri. Artinya, pengetahuan dipahami sebagai upaya pembelajaran yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi. Pada titik ini, terdapat hubungan dua arah antara persepsi dan pengetahuan: pengetahuan akan membangun persepsi manusia terhadap dunia nyata dan sebaliknya persepsi akan memicu usaha pencarian terhadap pengetahuan.


Daftar pustaka
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Erlangga,Jakarta.


#TUGAS10


Jumat, 11 November 2016

Teori Modal Sosial


Pada minggu ini saya akan mereview materi tentang “Teori Modal Sosial”, meski saat ini presentasi sudah memasuki materi Teori Perubahan Kelembagaan. Sama-sama berasal dalam cabang ilmu sosial, pendekatan ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi selama ini dianggap saling menegasikan. Dalam mengidentifikasi dan menguliti persoalan-persoalan pembangunan, misalnya, pendekatan ilmu ekonomi (klasik neoklasik) menganggap bahwa kelembagaan (informal) yang hidup  dalam struktur sosial tidak memiliki pengaruh terhadap kegiatan ekonomi  (investasi, distribusi, konsumsi, dan lain-lain). Sebaliknya, pendekatan ilmu sosiologi menentang asumsi-asumsi rasionalitas material (yang diusung oleh ilmu ekonomi) sebagai desain strategi pembangunan. Di luar itu, analisis ekonomi yang cenderung sangat kuantitatif dianggap oleh para sosiolog sangat mendangkalkan kontpleksitas relasi sosial yang ada di masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang diproduksi selalu gagal beroperasi.

Akar dan Definisi Modal Sosial
Teori modal sosial pertama kali sesungguhnya dipicu oleh tulisan Pierre Bourdieu yang dipublikasikan pada akhir tahun 1970-an. Judul tulisan Bourdieu tersebut antara lain adalah  Le Capital Social: Notes Provisoires , yang diterbitkan dalam  Actes de la Recherche en Sciences Sociales (1980). Namun, karena publikasi tersebut dilakukan dalam bahasa Perancis, membuat tidak banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian. Setelah James S. Coleman mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993, barulah para intelektual mengunduh tema tersebut sebagai salah satu  santapan  penting yang mempertemukan antardisiplin ilmu.  Akhirnya, hingga saat ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep modal sosial, seperti yang ia tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul  Social Capital in the Creation of Human Capital  (1988). Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan bisa melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia.  Hal inilah yang menyebabkan Coleman mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya.
Menurumya, modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial; dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor)  baik individu maupun perusahaan- di dalam struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif ini, sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.  Selanjumya, Baker mendefinisikan modal sosial sebagai  sumberdaya yang diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial yang spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu kepentingannya; modal sosial tersebut diciptakan lewat perubahan-perubahan dalam hubungan antarpelakunya. Sedangkan Schiff mengartikan modal sosial sebagai  seperangkat elemen dari struktur sosial yang memengaruhi relasi antarmanusia dan sekaligus sebagai input atau argumen bagi fungsi produksi dan/atau manfaat (utility). Selain itu, Burt memaknai modal sosial sebagai  teman, kolega, dan lebih umum kontak lewat siapa pun yang membuka peluang bagi pemanfaaat modal ekonomi dan manusia . Demikian pula dengan Uphoff yang menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang memengaruhi perilaku kerjasama. Sementara itu, Pumam mendefinisikan modal sosial sebagai  gambaran organisasi sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan . Seluruh definisi tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa modal sosial baru terasa bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial.
Seluruh uraian tersebut membawa kepada satu nuansa, bahwa secara umum modal sosial bisa didekati dari dua perspektif. Pertama mengkaji modal sosial dari perspektif pelaku (actor’sperspektive) yang diformulasikan oleh Bourdieu yang melihat modal sosial berisi sumber daya dimana pelaku individu dapat menggunkannya karena kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif (exclusive networks). Yang kedua mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat yang dikonseptualisasikan pleh Pumam, yang melihat modal sosial sebagai barang publik yag diatur oleh organisasi dan jaringan horizontal yang eksis dalam masyarakat.

Modal Sosial : Empat Perspektif
           Bahwa dalam operasionalisasinya modal sosial yang dilihat menurut fungsinya mengandaikan memiliki aspek struktur dan kognisi. Jika dipilah dalam tiga penampakan, maka didapatkan sebuah operasionalisasi modal sosial sebagai berikut :

Struktur
Kognisi
Sumber pengejawantahan
Peran dan aturan, Jaringan dan hubungan interpersonal dengan pihak lain,prosedur dan kejadian
Norma-norma, nilai-nilai,perilaku,keyakinan
Cakupan (domains)
Organisasi sosial
Budaya sipil (civil culture)
Faktor dinamis
Ketertarikan horizontal,ketertarikan vertikal
Kepercayaan, solidaritas, kerjasama, kedermawanan
Elemen bersama
Ekspetasi yang mengarahkan kepada perilaku kerjasama yang saling menguntungkan


       Selanjumya, modal sosial sebagai jembatan bermakna tanpa adanya kelemahan ikatan antar komunitas seperti keberagaman sosial yang dipacu oleh perbedaan agama, klas, emisitas, jender, dan status sosial ekonomi, ikatan horizontal yang kuat dapat menjadi basis bagi kepentingan sektarian yang sempit. Artinya, pencapaian modal yang diinginkan bisa jadi mengabaikan kemungkinan bahwa hasil tersebut diperoleh dengan jalan membebani kelompoklainnya sehingga sebetulnya pencapaian tersebut tidak optimal , atau hasil yang diinginkan saat ini sebenarnya akan menimbulkan biaya dikemudian hari. Dalam level yang lebih makro, jembatan sosial dapat dikaitkan dengan tata kelola yang menghasilkan pencapaian ekonomi. Empat perspektif modal sosial antara lain:
Perspektif
Pelaku
Preskripsi kebijakan
Perspektif komunitarian
Asosiasi lokal
Kelompok komunitas
Kecil itu indah, mengidentifikasi aset sosial kaum miskin
Perspektif jaringan
Ikatan dan jembatan, ikatan komunitas
Wirausahawan, kelompok bisnis, perantara informasi
Desentrialisasi, menciptakan zona usaha, menjembatani pemisah sosial
Perspektif kelembagaan
Kelembagaan politik dan hukum
Sektor privat dan publik
Desain kebebasan sipil dan politik
Perspektif sinergi
Jaringan komunitas dan relasi negara masyarakat
Kelompok komunitas, masyarakat sipil, perusahaan dan negara
Produksi bersama, partisipapsi komplementaritas,keterkaitan dan penguatan kapasitasdan skala organisasi lokal

Modal Sosial : Implikasi Negatif
Meskipun konsep modal sosial diakui eksistensinya dan relevansinya dalam dataran teoritis maupun empiris, namun masih banyak ketidaksepakatan menyangkut beberapa hal mendasar sehingga menimbulkan kontroversi yang tidak berujung hingga kini. Dalam identifikasi yang mendalam, setidaknya kontroversi meyangkut konsep modal sosial ini bisa dibagi dalam empat isu antara lain sebagai berikut;
Isu
Isi
Masalah
Aset kolektif atau individu (Coleman, Pumam)
Modal sosial sebagai aset kolektif
Membaur dengan norma kepercayaan.
Jaringan terbuka ( Bourdieu, Coleman, Pumam)
Kelompok harus tertutup dan rekat
Visi klas masyarakat dan ketiadaan mobilitas
Fungsional (Coleman)
Modal sosial diindikasikan oleh efeknya terhadap tindakan tertentu
Tautologi (sebab ditentukan oleh efekya)
Pengukuran (Coleman)
Tidak bisa dikuantifikasi
Heuristik, tidak dapat salah

Di luar kontroversi di atas, bahasan tentang konsep modal sosial selama ini didominasi oleh cara pandang yang terlalu positif. Artinya, menempatkan modal sosial sebagai variabel yang dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan bersama, misalnya dalam pembangunan ekonomi. Padahal, modal sosial yang bertumpu kepada interaksi antarmanusia dalam struktur sosial yang inheren didalamnya, bisa saja menimbulkan implikasi negatif misalnya alokasi kegiatan ekonomi. Dalam salah satu risalahnya, Yoram Ben Porath (dalam Coleman, 1988;96) mengembangkan konsep yang sangat dekat dengan pengertian modal sosial, yakni yang disebut sebagai ‘F-connection’.  F-connection terdiri dari families (keluarga), friends (teman), firms (perusahaan). Jika dikembangkan lebih jauh, bisa jadi hubungan keluarga dan pertemanan bisa bermanfaat bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan atau karier yang lebih bagus. Sebagai contoh yang lebih sederhana, transaksi dengan seorang teman tentu akan lebih mudah dilakukan daripada dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya. Tetapi, konsep f-conecction tersebut, dan secara lebih jauh konsep tentang teori modal sosial, dapat memiliki implikasi negatif terhadap pertukaran ekonomi atau kegiatan ekonomi lainnya secara keseluruhan.
Beberapa studi terbaru  sekurang-kurangnya menunjukan empat konsekuensi egatif dari modal sosial antara lain pengucilan dari pihak luar, dampak klaim terhadap anggota kelompok, rintangan kebebasan individu, dan penyempitan ruang lingkup dan norma. Dalam beberapa hal keempat konsekuensi negatif dari modal sosial tersebut nyaris tidak terbantahkan, bahkanbahkan ditengarai menjadi penyebab terpenting terjadinya keterbelakangan ekonomi dinegara berkembang. Modal sosial yang secara netral lebih banyak dimaknai sebagai energi terpenting bagi individu untuk menangkap dan memanfaatkan peluang melalui struktur sosial yang tersedia, ternyata secara empiris dapat menjadi sumber kegagalan bagi sebuah sistem untuk bekerja mencapai tujuan yang diinginkan. Inilah yang menyebabkan sistem yang dibangun di negara berkembang sulit berjalan karena diganjal dalam tahap implementasinya.

Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Dalam konteks ilmu ekonomi, seperti halnya modal ekonomi dan pemhahasan modal sosial sudah barang tentu direlasikan dengan pencapaian (pembangunan) ekonomi. Jadi, meskipun kelahiran konsep modal sosial dipicu dari ranah bidang ilmu sosiologi, begitu sampai dalam kupasan bidang ekonomi dianggap sebagai bagian dari bentuk modal yang diharapkan memiliki donasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk melakukan terobosan pembahasan ini sudah berlangsung lama, khususnya semenjak isu modal sosial mulai diperhatikan secara intensif pada awal dekade 1990-an. Jika dibagi dalam level studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua karakteristik berikut: (i) penelitian hulu yang mencoba mencari landasan teoretis yang merelasikan modal sosial dengan pembangunan ekonomi; dan (ii) penelitian hilir yang berusaha melacak implikasi modal sosial terhadap pembangunan ekonomi. Kedua studi tersebut masing-masing sudah menyumbangkan khasanah pemikiran matang, sehingga Saat ini telah tersedia beberapa argumentasi teoretis empiris untuk menjelaskan hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi.
Sebelum mengupas masalah hubungan antara modal sosial dan pernbangunan ekonomi, terlebih dulu akan dipaparkan perbedaan antara pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Dalam perspektif rasionalitas transaksional, yang secara tipikal digunakan untuk melakukan analisis pertukaran ekonomi, tujuan utamanya adalah memperoleh modal ekonomi (sumber daya melalui transaksi) dan kepentingan dalam aspek transaksional pertukaran yang dimediasi oleh harga dan uang. Kegunaan dari pertukaran adalah untuk mengoptimalisasi keuntungan transaksional sedangkan pilihan rasional didasarkan kepada analisis hubungan-hubungan alternatif yang memproduksi beragam keuntungan dan biaya transaksional. Dengan basis ini, aturan-aturan penukaran berperan dalam dua hal. Pertama, jika hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikumya. Kedua, bila hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka ada dua pilihan yang dapat diambil: (1) menemukan hubungan alternatif yang bisa memproduksi keuntungan; atau (2) merawat hubungan tersebut, tetapi dengan berupaya mengurangi biaya transaksional. Keputusan di antara dua pilihan itu didasarkan kepada bobot relatif yang mungkin diambil dari kemungkinan memeroleh keuntungan atau mengurangi biaya transaksi. Dengan begitu, analisis kritis dalam pertukaran ekonomi memfokuskan kepada transaksi simetris dalam episodis atau transaksi yang berulang.
Hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi tersebut juga bisa dilacak dari sisi lain. Kegiatan ekonomi selalu berupa kerja sama (baik dalam pengertian kompetisi maupun saling-bantu) antarpelakunya, apa pun motif yang ada di baliknya (profit, status, harga diri, preferensi, dan lain-lain). Sedangkan kerja sama itu membutuhkan kepercayaan (trust), yang dalam ekonomi modern dapat digantikan dengan mekanisme formal untuk mencegah kecurangan/penipuan, seperti sistem kontrak. Tapi, formalitas itu sendiri tidak akan pernah menggantikan kepercayaan karena sisten kontrak hanyalah instrumen pendukung (bukan utama). Sampai di sini, pandangan paling agung dari modal sosial menyatakan bahwa kerja sama tergantung dari kepercayaan. Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high trust societies) akan sanggup melakukan kerja sama sampai level organisasi yang sangat besar, semacam korporasi transnasional. Sebaliknya, masyarakat yang tingkat kepercayaannya rendah (low trust societies) kerja sama yang dapat digalang hanya sampai pada level terbatas, misalnya perusahaan yang berbasis keluarga (family based-firms). Jadi, dalam hal ini, harus dipahami modal sosial sebagai sumber daya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau hasil (outcome) pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan prakondisi bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi.

Daftar pustaka
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Erlangga,Jakarta.


#TUGAS9