Sabtu, 19 November 2016

Teori Perubahan Kelembagaan


Akhirnya presentasi sudah sampai pada materi bab 10 dan 11 yang digabung tetapi resumenya masih dari bab 9, langsung saja pada reseume kali ini materinya “Teori Perubahan Kelembagaan”. Bahwa kelembagaan tidaklah statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antarkepentingan. Di luar itu, dari kelembagaan juga disebabkam oleh  berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur kegiatan ekonomi. Dari dua pendekatan tersebut, bisa diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat teori yang diperlukan sebagai pemandu proses perubahan kelembagaan.

Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen
Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip, regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju pada peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan, sementara pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan tersebut bisa berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Dalam posisi ini, perbedaan dan integrasi merupakan proses pelengkap/complementary process. Tentu saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi, yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal dan sebagainya. Dengan demikian, perubahan  kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Oleh karena utama dari setiap perubahan, kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Tentu saja, basis utama dari transformasi permanen adalah kesadaran bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-bidang lainnya. Perubahan-perubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan-rintangan informal/informal constraints (norma-norma, konvensi, atau kejujuran personal) dapat memberikan implikasi yang sama seperti perubahan dalam peraturan formal (misalnya, hukum) masyarakat. Perubahan bisa terjadi secara bertahap dan kadang-kadang secara  cepat karena individu mengembangkan pola-pola perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan sosial) sebagai respons atas proses evaluasi biaya dan keuntungan baru yang dirasakan (North, 1993; seperti dikutip oleh Dharmawan, 2001:31-32). Jika dipadatkan, pernyataan berikut ini membawahi lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan (North, 1995:23):
  1. Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi, merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan.
  2.  Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuam yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.
  3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki hasil maksimum (maximum pay-off).
  4. Persepsi berasal dari konsfruksi/bangunan mental para pemain/pelaku (mental constructs of the players).
  5. Cakupan ekonomi, komplementaritas, dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki jalur ketergantungan (path dependent).

        Selanjutnya, North percaya terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk memahami dinamika perubahan kelembagaan (Hira dan Hira, 2000:273). Pertama, perubahan kelembagaan sebagai hubungan simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi di sekitar struktur insentif yang disediakan oleh kelembagaan. Kedua, perubahan kelembagaan sebagai proses umpan balik di mana individu merasa dan bereaksi terhadap perubahan berbagai kesempatan. Dengan kata lain, hubungan yang pertama menegaskan bahwa organisasi bersikap optimis untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan proposisi ini, North menyatakan terdapat tantangan mendasar dalam menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira, 2000:275-276), yakni menyingkirkan aspek-aspek infomal dengan halangan formal (aligning informal with formal constraint) dan menciptakan serta merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan yang efisien. Menyangkut rintangan yang pertama, North meyakini bahwa masyarakat menilai suatu sistem tersebut adil, kemudian meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal sehingga akan mengurangi  masalah tindakan kolektif. Sedangkan berkaitan dengan rintangan kedua, North merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas dana dalarn rangka mengurangi biaya informasi pemilih.

Perubahan Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan
Menurut North (1990:86), proses perubahan kelembagaan tersebut dapat digambarkan sebagai Berikut. Perubahan harga relatif mendorong satu atau kedua pihak mengadakan pertukaran, apakah politik atau ekonomi, untuk menunjukkan bahwa satu atau kedua belah pihak dapat bekerja lebih baik dengan kesepakatan atau kontrak yang telah diperbaiki. Tentu saja terdapat usaha-usaha yang harus dilakukan untuk menegosiasikan kembali kontrak tersebut. Tetapi, karena kontrak disusun dalam peraturan yang hierarkis, renegosiasi tidak mungkin dilakukan tanpa adanya restrukturisasi peraturan yang lebih tinggi. Dalam kasus ini, pihak yang ingin memperbaiki posisi tawarnya bisa berusaha memberikan sumber dayanya untuk mendorong restrukturisasi peraturan pada level yang lebih tinggi. Dalam kasus norma perilaku, perubahan harga relatif atau perubahan selera akan mendorong ke erosi secara perlahan menuju ke perubahan norma yang berbeda. Dalam selang waktu tertentu, peraturan itu bisa diubah atau diabaikan, bahkan tidak ditegakkan. Begitu pula adat atau tradisi bisa secara perlahan terkikis dan diganti dengan yang lain.
Sementara itu, Hira dan Hira (2000:272) menjelaskan perubahan kelembagaan dari perspektif yang berbeda. Pertama, perubahan kelembagaan terjadi sebagai reaksi dari faktor ekonomi baru, yang biasanya direfleksikan dengan adanya perubahan harga relatif dan selera. Kedua, wirausahawan (bisa organisasi maupun individu) mengeksploitasi seluruh potensi yang terdapat dalam sebuah sistem kelembagaan, yang ujung-ujungnya akan menghasilkan perubahan yang inovatif. Polski (2001 : 15) meyakini bahwa kelembagaan dapat berubah lewat salah satu dari dua cara ini. Pada aras ini, partisipan transaksi dapat mengubah secara hukum melalui formalisasi penulisan kembali peraturan, mengomunikasikan perubahan kepada mereka yang dipengaruhi, dan mengawasi serta menegakkan perilaku yang bertentangan dengan aturan baru yang telah diciptakan/disepakati. Alternatif lainnya, peraturan dapat mengubah secara de facto dengan jalan menghentikan pengawasan dan penegakan aturan yang ada, atau dengan memberikan interpretasi baru atas aturan yang telah ada lewat cara yang lebih liberal. Beberapa ahli ekonomi berargumentasi bahwa kelembagaan, yang eksis dalam perekonomian dan masyarakat, adalah efisien karena kelembagaan ini merupakan pencapaian potensial atau kompetisi nyata di antara alternatif kesepakatan-kesepakatan kelembagaan. Dalam konteks ini, tuntutan efektif terhadap perubahan kelembagaan pada dasarnya digunakan untuk mengubah (menurunkan) biaya transaksi. Perubahan kelembagaan yang dipicu secara pribadi akan terjadi jika biaya transaksi marginal berubah dan kelembagaan yang baru lebih efisien daripada kelembagaan yang lama.
Scott (dalam Challen, 2000:47) mengidentifikasi empat fase/model di mana perubahan kelembagaan telah terjadi dalam konteks historis: (i) perubahan spontan dan tidak berlanjut oleh revolusi dan penaklukan; (ii) perubahan spontan dan inkremental dari pemanfaatan tradisi dan perilaku umum; (iii) perubahan inkremental oleh proses pengadilan dan evolusi undang-undang umum; dan perubahan inkremental yang dilakukan oleh imperialis, birokrasi, atau politik. Jadi, tampak dari empat model tersebut, bahwa perubahan kelembagaan bisa dipicu oleh otoritas formal (lewat regulasi) maupun otoritas informal. Namun, setiap analis perubahan kelembagaan tidak dalam posisi untuk menentukan model perubahan kelembagaan mana yang lebih ideal. Hal paling maksimal yang bisa dilakukan oleh analis perubahan kelembagaan hanya memetakan segi kelemahan dan kekuatan dari masing-masing tipe perubahan kelembagaan. Lebih dari itu, setiap perubahan kelembagaan yang terjadi dalam proses pertukaran ekonomi selalu bersifat spesifik, sehingga model perubahan kelembagaan yang bagus untuk kegiatan ekonomi tertentu tidak lantas baik juga untuk aktivitas transaksi ekonomi lainnya. Pemahaman inilah yang mesti dimengerti agar formulasi Perubahan kelembagaan tidak diangankan sebagai proses mekanis yang hanya mempertimbangkan aspek-aspek teoretis semata.

Alat Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan
Seperti yang telah dipaparkan di muka, perubahan kelembagaan diperlukan mengingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan sendirinya menciptakan dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja ketiadaan kelembagaan formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan informal tetapi tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang (Diehl, 1998:51). Pada negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Pada level makro ekonorni, setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah. yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan defisit anggaran, nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada mikro isu yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar nwdal, penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan, dan mempromosikan kompetisi (Yeager, 1999:80). Isu makro dan mikro ekonomi pada tersebut bisa diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari serba negara menjadi dibimbing oleh pasar. Negara-negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro kebijakan harga cenderung dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya tidak efisien (Yustika, 2002:277-278). Dalam posisi seperti itu, setiap proses reformasi/transisi ekonomi cenderung mengubah secara drastis penampilan kebijakan ekonomi yang diintroduksi oleh negara, yakni dengan memberikan kesempatan kepada pasar untuk memegang kendali kegiatan ekonomi.
Di luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi/transisi ekonomi sarat dengan rintangan-rintangan politik yang seringkali tidak ramah. Setidaknya ada tiga palang/rintangan politik (political barriers) yang kerap terjadi untuk menelikung perjalanan refomasi ekonomi (Haggard dan Kaufman, 1995:156-157). Pertama, kebijakan reformasi ekonomi yang menyentuh barang-barang publik selalu menimbulkan masalah penunggang gelap, sehingga pada titik ini akan sangat mungkin bagi timbulnya tindakan kolektif. Jika penunggang gelap reformasi tersebut mendapatkan keuntungan yang berlebih, maka reformasi ekonomi berpotensi mengalami kegagalan. Kedua, dalam pandangan model distributif kebijakan reformasi diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang dan sekaligus akan dilawan oleh kelompok pecundang, sehingga hasil dari reformasi ekonomi akan sangat tergantung dari kekuatan politik di antara koalisi pemenang. Ketiga, masalah klasik dari reformasi ekonomi adalah biaya reformasi biasanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu, tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga keberhasilannya sangat tergantung kepada seberapa kuat perlawanan dari kelompok yang paling terkena dampak reformasi tersebut.

Organisasi, Pembelaiaran, dan Perubahan Kelembagaan
Dalam konteks ekonomi, perubahan kelembagaan selalu dikaitkan dengan atribut keuntungan yang bakal dinikmati oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Dengan diktum ini, perubahan kelembagaan memiliki keuntungan bagi masyarakat hanya jika biaya-biaya yang muncul akibat perlindungan hak-hak lebih kecil ketimbang penerimaan dari alokasi sumber daya yang lebih baik. Apabila biaya yang muncul terlalu tinggi, mungkin diperlukan langkah untuk mendesain kelembagaan nonpasar dalam rangka mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien (Hayami dan Ruttan, 1985:103). Dalam praktiknya, kegiatan transaksi ekonomi selalu memakai satu di antara dua instrumen berikut: pasar atau organisasi. Menurut Coase, pasar dan organisasi merupakan dua tipe ideal koordinasi dalam proses transaksi pertukaran. Pasar yang ideal dikarakteristikkan oleh fakta bahwa hukum harga sebagai kecukupan statistik bagi sumber pengambilan keputusan individu. Sebaliknya, organisasi yang ideal dicirikan sebagai keseluruhan bentuk koordinasi transaksi yang tidak mengunakan instrumen harga untuk mengomunikasikan informasi di antara pelaku-pelaku transaksi. Walaupun begitu, dalam operasionalisasinya, tentu pemisahan di antara dua model koordinasi tersebut tidak besifat hitam dan putih. Dalam banyak kasus, sebagian besar pasar juga terorganisasi. Sementara itu, kebanyakan organisasi juga memakai harga untuk mengomunikasikan informasi di dalam organisasi (Douma dan Schreuder, 2002: 11). Dalam konteks perubahan kelembagaan, koordinasi tersebut juga bisa menggunakan kelembagaan pasar dan organisasi. Sebagai salah satu instrumen/model kelembagaan, pasar akan menuntun proses perubahan kelembagaan berdasarkan kepentingan spontan dari masing-masing pelakunya. Di sini yang bekerja adalah sistem insentif yang akan diperoleh setiap pelaku sehingga mereka bereaksi apabila terdapat ruang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan organisasi akan memandu proses perubahan kelembagaan berbasiskan kesamaan tujuan dari individu-individu yang tergabung di dalamnya. Sebelum individu bergerak, terlebih dulu harus telah tercapai kesepakatan yang diterima oleh seluruh anggota organisasi.
Organisasi kartel merupakan contoh paling baik untuk mendeskripsikan koordinasi dengan memakai organisasi tersebut. Walaupun terdapat celah untuk mendapatkan laba yang lebih besar dengan jalan keluar dari kesepakatan, biasanya setiap anggota kartel enggan mencederai mufakat yang sudah dicapai. Jadi, perubahan kelembagaan yang mendasarkan kepada koordinasi organisasi dipastikan akan berjalan lebih rumit karena harus menunggu proses kesepakatan di dalam organisasi. Di samping itu, koordinasi dengan basis organisasi juga membutuhkan hal lain yang penting dalam proses perubahan kelembagaan, yakni pembelajaran. Penjelasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, organisasi didesain sebagai sebuah institusi/lembaga untuk mencapai tujuan dari para penciptanya. Organisasi tersebut diciptakan bukan sekadar sebagai fungsi dari rintangan-rintangan kelembagaan, tetapi juga halangan-halangan lainnya. Interaksi antara hambatan kelembagaan dan rintangan lainnya itu berpotensi untuk mencapai maksimalisasi kesejahteraan bagi para wirausahawannya, baik wirausahawan politik maupun ekonomi. Sebagai upaya mengatasi rintangan-rintangan itulah dibutuhkan pencarian pengetahuan yang terus-menerus. Bagi North (1990:73-76), insentif untuk mendapatkan pengetahuan itu tidak hanya dipengaruhi oleh struktur penghargaan  dan hukuman yang memiliki nilai material, namun juga akibat tolerasi masyarakat terhadap pembangunan pengetahuan itu sendiri. Artinya, pengetahuan dipahami sebagai upaya pembelajaran yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi. Pada titik ini, terdapat hubungan dua arah antara persepsi dan pengetahuan: pengetahuan akan membangun persepsi manusia terhadap dunia nyata dan sebaliknya persepsi akan memicu usaha pencarian terhadap pengetahuan.


Daftar pustaka
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Erlangga,Jakarta.


#TUGAS10


Tidak ada komentar:

Posting Komentar