Akhirnya presentasi sudah sampai pada materi bab 10 dan 11 yang digabung tetapi resumenya masih dari bab 9,
langsung saja pada reseume kali ini materinya “Teori Perubahan Kelembagaan”. Bahwa
kelembagaan tidaklah statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang
mempertemukan antarkepentingan. Di luar itu, dari kelembagaan juga disebabkam
oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur
masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan
berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan
kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku
ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change).
Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari
perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua, perubahan
kelembagaan sengaja didesain untuk memengaruhi kegiatan ekonomi.
Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk
mengatur kegiatan ekonomi. Dari dua pendekatan tersebut, bisa diyakini bahwa
perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan seperangkat teori yang diperlukan sebagai pemandu
proses perubahan kelembagaan.
Perubahan
Kelembagaan dan Transformasi Permanen
Perubahan kelembagaan di
dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip, regulasi dan
organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya
menuju pada peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam
kelembagaan yang saling berhubungan, sementara pada waktu yang bersamaan
terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial
yang kompleks. Perbedaan tersebut bisa berarti juga memperluas mata rantai
saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Dalam posisi ini,
perbedaan dan integrasi merupakan proses pelengkap/complementary process. Tentu
saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi,
yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor
eksternal dan sebagainya. Dengan demikian,
perubahan kelembagaan merupakan proses
transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Oleh karena utama
dari setiap perubahan, kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi
produktivitas yang lebih besar dari perbaikan pemanfaatan sumber daya yang
kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Tentu saja, basis utama dari transformasi permanen adalah kesadaran
bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada
bidang-bidang lainnya. Perubahan-perubahan yang berlangsung dengan adanya
rintangan-rintangan informal/informal constraints (norma-norma, konvensi, atau
kejujuran personal) dapat memberikan implikasi yang sama seperti perubahan
dalam peraturan formal (misalnya, hukum) masyarakat. Perubahan bisa terjadi
secara bertahap dan kadang-kadang secara cepat karena individu mengembangkan pola-pola
perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan sosial) sebagai respons atas proses
evaluasi biaya dan keuntungan baru yang dirasakan (North, 1993; seperti dikutip
oleh Dharmawan, 2001:31-32). Jika dipadatkan, pernyataan berikut ini membawahi
lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari perubahan
kelembagaan (North, 1995:23):
- Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi, merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan.
- Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuam yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.
- Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki hasil maksimum (maximum pay-off).
- Persepsi berasal dari konsfruksi/bangunan mental para pemain/pelaku (mental constructs of the players).
- Cakupan ekonomi, komplementaritas, dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki jalur ketergantungan (path dependent).
Selanjutnya,
North percaya terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk memahami dinamika
perubahan kelembagaan (Hira dan Hira, 2000:273). Pertama, perubahan kelembagaan
sebagai hubungan simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi
di sekitar struktur insentif yang disediakan oleh kelembagaan. Kedua, perubahan
kelembagaan sebagai proses umpan balik di mana individu merasa dan bereaksi
terhadap perubahan berbagai kesempatan. Dengan kata lain, hubungan yang pertama
menegaskan bahwa organisasi bersikap optimis untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Berdasarkan proposisi ini, North menyatakan terdapat tantangan
mendasar dalam menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira,
2000:275-276), yakni menyingkirkan aspek-aspek infomal dengan halangan formal
(aligning informal with formal constraint) dan menciptakan serta merawat
kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan yang efisien. Menyangkut
rintangan yang pertama, North meyakini bahwa masyarakat menilai suatu sistem
tersebut adil, kemudian meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal
sehingga akan mengurangi masalah
tindakan kolektif. Sedangkan berkaitan dengan rintangan kedua, North merujuk
kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas dana dalarn
rangka mengurangi biaya informasi pemilih.
Perubahan
Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan
Menurut
North (1990:86), proses perubahan kelembagaan tersebut dapat digambarkan
sebagai Berikut. Perubahan harga relatif mendorong satu atau kedua pihak
mengadakan pertukaran, apakah politik atau ekonomi, untuk menunjukkan bahwa
satu atau kedua belah pihak dapat bekerja lebih baik dengan kesepakatan atau
kontrak yang telah diperbaiki. Tentu saja terdapat usaha-usaha yang harus
dilakukan untuk menegosiasikan kembali kontrak tersebut. Tetapi, karena kontrak
disusun dalam peraturan yang hierarkis, renegosiasi tidak mungkin dilakukan
tanpa adanya restrukturisasi peraturan yang lebih tinggi. Dalam kasus ini,
pihak yang ingin memperbaiki posisi tawarnya bisa berusaha memberikan sumber
dayanya untuk mendorong restrukturisasi peraturan pada level yang lebih tinggi.
Dalam kasus norma perilaku, perubahan harga relatif atau perubahan selera akan
mendorong ke erosi secara perlahan menuju ke perubahan norma yang berbeda.
Dalam selang waktu tertentu, peraturan itu bisa diubah atau diabaikan, bahkan
tidak ditegakkan. Begitu pula adat atau tradisi bisa secara perlahan terkikis
dan diganti dengan yang lain.
Sementara
itu, Hira dan Hira (2000:272) menjelaskan perubahan kelembagaan dari perspektif
yang berbeda. Pertama, perubahan kelembagaan terjadi sebagai reaksi dari faktor
ekonomi baru, yang biasanya direfleksikan dengan adanya perubahan harga relatif
dan selera. Kedua, wirausahawan (bisa organisasi maupun individu)
mengeksploitasi seluruh potensi yang terdapat dalam sebuah sistem kelembagaan,
yang ujung-ujungnya akan menghasilkan perubahan yang inovatif. Polski (2001 :
15) meyakini bahwa kelembagaan dapat berubah lewat salah satu dari dua cara
ini. Pada aras ini, partisipan transaksi dapat mengubah secara hukum melalui
formalisasi penulisan kembali peraturan, mengomunikasikan perubahan kepada
mereka yang dipengaruhi, dan mengawasi serta menegakkan perilaku yang
bertentangan dengan aturan baru yang telah diciptakan/disepakati. Alternatif
lainnya, peraturan dapat mengubah secara de facto dengan jalan menghentikan
pengawasan dan penegakan aturan yang ada, atau dengan memberikan interpretasi baru
atas aturan yang telah ada lewat cara yang lebih liberal. Beberapa ahli ekonomi
berargumentasi bahwa kelembagaan, yang eksis dalam perekonomian dan masyarakat,
adalah efisien karena kelembagaan ini merupakan pencapaian potensial atau
kompetisi nyata di antara alternatif kesepakatan-kesepakatan kelembagaan. Dalam
konteks ini, tuntutan efektif terhadap perubahan kelembagaan pada dasarnya
digunakan untuk mengubah
(menurunkan) biaya transaksi. Perubahan kelembagaan yang dipicu secara pribadi akan
terjadi jika biaya transaksi marginal berubah dan kelembagaan yang baru lebih
efisien daripada kelembagaan yang lama.
Scott
(dalam Challen, 2000:47) mengidentifikasi empat fase/model di mana perubahan
kelembagaan telah terjadi dalam konteks historis: (i) perubahan spontan dan
tidak berlanjut oleh revolusi dan penaklukan; (ii) perubahan spontan dan
inkremental dari pemanfaatan tradisi dan perilaku umum; (iii) perubahan
inkremental oleh proses pengadilan dan evolusi undang-undang umum; dan perubahan
inkremental yang dilakukan oleh imperialis, birokrasi, atau politik. Jadi,
tampak dari empat model tersebut, bahwa perubahan kelembagaan bisa dipicu oleh
otoritas formal (lewat regulasi) maupun otoritas informal. Namun, setiap analis
perubahan kelembagaan tidak dalam posisi untuk menentukan model perubahan
kelembagaan mana yang lebih ideal. Hal paling maksimal yang bisa dilakukan oleh
analis perubahan kelembagaan hanya memetakan segi kelemahan dan kekuatan dari
masing-masing tipe perubahan kelembagaan. Lebih dari itu, setiap perubahan
kelembagaan yang terjadi dalam proses pertukaran ekonomi selalu bersifat
spesifik, sehingga model perubahan kelembagaan yang bagus untuk kegiatan
ekonomi tertentu tidak lantas baik juga untuk aktivitas transaksi ekonomi
lainnya. Pemahaman inilah yang mesti dimengerti agar formulasi Perubahan
kelembagaan tidak diangankan sebagai proses mekanis yang hanya mempertimbangkan
aspek-aspek teoretis semata.
Alat
Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan
Seperti
yang telah dipaparkan di muka, perubahan kelembagaan diperlukan mengingat
proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan sendirinya menciptakan
dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja ketiadaan kelembagaan
formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan informal tetapi tentu saja
ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang (Diehl, 1998:51). Pada negara yang sedang melakukan
proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan
mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Pada level makro ekonorni,
setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah. yakni kontrol terhadap
inflasi, pengurangan defisit anggaran, nilai tukar mata uang, intensitas
perdagangan internasional, dan peningkatan
investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada mikro isu yang
dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar nwdal,
penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan, dan mempromosikan
kompetisi (Yeager, 1999:80). Isu makro dan mikro ekonomi pada tersebut bisa diterima
mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari serba negara menjadi dibimbing oleh pasar. Negara-negara
yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada level makro
dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi
yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang besar,
nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih
ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro kebijakan harga
cenderung dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar
sangat monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak
kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan
negara-negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya
tidak efisien (Yustika, 2002:277-278). Dalam posisi seperti itu, setiap proses
reformasi/transisi ekonomi cenderung mengubah secara drastis penampilan
kebijakan ekonomi yang diintroduksi oleh negara, yakni dengan memberikan
kesempatan kepada pasar untuk memegang kendali kegiatan ekonomi.
Di
luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi/transisi ekonomi sarat
dengan rintangan-rintangan politik yang seringkali tidak ramah. Setidaknya ada
tiga palang/rintangan politik (political barriers) yang kerap terjadi untuk
menelikung perjalanan refomasi ekonomi (Haggard dan Kaufman, 1995:156-157).
Pertama, kebijakan reformasi ekonomi yang menyentuh barang-barang publik selalu
menimbulkan masalah penunggang gelap, sehingga pada titik ini akan sangat
mungkin bagi timbulnya tindakan kolektif. Jika penunggang gelap reformasi
tersebut mendapatkan keuntungan yang berlebih, maka reformasi ekonomi
berpotensi mengalami kegagalan. Kedua, dalam pandangan model distributif kebijakan
reformasi diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang dan sekaligus akan
dilawan oleh kelompok pecundang, sehingga hasil dari reformasi ekonomi akan
sangat tergantung dari kekuatan politik di antara koalisi pemenang. Ketiga, masalah
klasik dari reformasi ekonomi adalah biaya reformasi biasanya terkonsentrasi
pada satu kelompok tertentu, tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok
sehingga keberhasilannya sangat tergantung kepada seberapa kuat perlawanan dari
kelompok yang paling terkena dampak reformasi tersebut.
Organisasi,
Pembelaiaran, dan Perubahan Kelembagaan
Dalam
konteks ekonomi, perubahan kelembagaan selalu dikaitkan dengan atribut keuntungan
yang bakal dinikmati oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Dengan diktum ini,
perubahan kelembagaan memiliki keuntungan bagi masyarakat hanya jika
biaya-biaya yang muncul akibat perlindungan hak-hak lebih kecil ketimbang
penerimaan dari alokasi sumber daya yang lebih baik. Apabila biaya yang muncul
terlalu tinggi, mungkin diperlukan langkah untuk mendesain
kelembagaan nonpasar dalam rangka mencapai alokasi sumber daya yang lebih
efisien (Hayami dan Ruttan, 1985:103). Dalam praktiknya, kegiatan transaksi
ekonomi selalu memakai satu di antara dua instrumen berikut: pasar atau
organisasi. Menurut Coase, pasar dan organisasi merupakan dua tipe ideal
koordinasi dalam proses transaksi pertukaran. Pasar yang ideal
dikarakteristikkan oleh fakta bahwa hukum harga sebagai kecukupan statistik
bagi sumber pengambilan keputusan individu. Sebaliknya, organisasi yang ideal dicirikan
sebagai keseluruhan bentuk koordinasi transaksi yang tidak mengunakan instrumen
harga untuk mengomunikasikan informasi di antara pelaku-pelaku transaksi.
Walaupun begitu, dalam operasionalisasinya, tentu pemisahan di antara dua model
koordinasi tersebut tidak besifat hitam dan putih. Dalam banyak kasus, sebagian
besar pasar juga terorganisasi. Sementara itu, kebanyakan organisasi juga
memakai harga untuk mengomunikasikan informasi di dalam organisasi (Douma dan
Schreuder, 2002: 11). Dalam konteks perubahan kelembagaan, koordinasi tersebut
juga bisa menggunakan kelembagaan pasar dan organisasi. Sebagai salah satu instrumen/model
kelembagaan, pasar akan menuntun proses perubahan kelembagaan berdasarkan
kepentingan spontan dari masing-masing pelakunya. Di sini yang bekerja adalah
sistem insentif yang akan diperoleh setiap pelaku sehingga mereka bereaksi
apabila terdapat ruang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan
organisasi akan memandu proses perubahan kelembagaan berbasiskan kesamaan
tujuan dari individu-individu yang tergabung di dalamnya. Sebelum individu
bergerak, terlebih dulu harus telah tercapai kesepakatan yang diterima oleh
seluruh anggota organisasi.
Organisasi
kartel merupakan contoh paling baik untuk mendeskripsikan koordinasi dengan
memakai organisasi tersebut. Walaupun terdapat celah untuk mendapatkan laba
yang lebih besar dengan jalan keluar dari kesepakatan, biasanya setiap anggota
kartel enggan mencederai mufakat yang sudah dicapai. Jadi, perubahan
kelembagaan yang mendasarkan kepada koordinasi organisasi dipastikan akan
berjalan lebih rumit karena harus menunggu proses kesepakatan di dalam
organisasi. Di samping itu, koordinasi dengan basis organisasi juga membutuhkan
hal lain yang penting dalam proses perubahan kelembagaan, yakni pembelajaran.
Penjelasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, organisasi didesain
sebagai sebuah institusi/lembaga untuk mencapai tujuan dari para penciptanya.
Organisasi tersebut diciptakan bukan sekadar sebagai fungsi dari
rintangan-rintangan kelembagaan, tetapi juga halangan-halangan lainnya.
Interaksi antara hambatan kelembagaan dan rintangan lainnya itu berpotensi
untuk mencapai maksimalisasi kesejahteraan bagi para wirausahawannya, baik
wirausahawan politik maupun ekonomi. Sebagai upaya mengatasi
rintangan-rintangan itulah dibutuhkan pencarian pengetahuan yang terus-menerus.
Bagi North (1990:73-76), insentif untuk mendapatkan pengetahuan itu tidak hanya
dipengaruhi oleh struktur penghargaan dan hukuman yang memiliki nilai material,
namun juga akibat tolerasi masyarakat terhadap pembangunan pengetahuan itu
sendiri. Artinya, pengetahuan dipahami sebagai upaya pembelajaran yang
bermanfaat bagi pengembangan organisasi. Pada titik ini, terdapat hubungan dua arah
antara persepsi dan pengetahuan: pengetahuan akan membangun persepsi manusia
terhadap dunia nyata dan sebaliknya persepsi akan memicu usaha pencarian
terhadap pengetahuan.
Daftar pustaka
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan).
Erlangga,Jakarta.
#TUGAS10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar