Sabtu, 03 Desember 2016

Ekonomi Kelembagaan dan Sistem Ekonomi

          

       Presentasi terakhir membahas tentang “Ekonomi Kelembagaan dan Sistem Ekonomi”, pada minggu ini saya akan mereview tentang materi tersebut. Langsung saja seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 2, teori ekonomi kelembagaan hidup dan berjalan di atas realitas sosial yang sesunguhnya, sesuatu yang diabaikan dalam pendekatan ekonomi klasik/neoklasik. Oleh karena asumsi semacam itu, ekonomi kelembagaan memasukkan aspek-aspek sosial, politik, hukum, budaya, dan lain-lain sebagai satu kesatuan unit analisis. Dengan dasar ini, formulasi ekonomi kelembagaan haruslah berbeda-beda apabila diberlakukan dalam struktur atau sistem ekonomi, sosial, budaya, atau hukum yang berlainan. Perbedaan tersebut bukan diakibatkan oleh ketidakjelasan konsep dari ekonomi kelembagaan itu sendiri, melainkan merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa kegiatan ekonomi berada di atas realitas sosial. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipelajari secara mendalam implikasi dari sistem ekonomi dan politik terhadap formulasi konsep ekonomi kelembagaan. Sekadar menyederhanakan, sistem kapitalis dan sosialis dipilih sebagai studi kasus sistem ekonomi; serta sistem politik otoriter dan demokratis sebagai studi kasus sistem politik. Pada bagian akhir, akan dipaparkan bagaimana intervensi negara dalam kegiatan ini lewat pespektif ekonomi kelembagaan.

Kelembagaan Kapitalisme dan Sosialisme
            Sistem ekonomi kapitalis sendiri tegak oleh beberapa pilar dasar yang melatarinya. Pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan dikoordinasi oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai penanda (sinyal). Jika harga dianggap melebihi biaya produksi dan margin laba, maka hal itu merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk ke pasar untuk menambah persediaan (supply) barang/jasa sehingga dapat menurunkan harga; demikian sebaliknya. Kedua, setiap individu memiliki kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan sebagai dasar melakukan transaksi (exchange). Tanpa adanya hak kepemilikan, individu tidak akan penah bisa mengeksekusi kegiatan ekonomi (transaksi). Oleh karena itu, salah satu fungsi terpenting dari kapitalisme adalah menawarkan dan melindungi hak kepemilikan swasta. Ketiga, kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni pemodal, tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land). Pemilik modal memeroleh pendapatan dari laba (profit) tenaga kerja dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa (rent). Keempat, tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar. Pelaku ekonomi yang melihat peluang profit bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pelaku ekonomi yang (rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi yang menghambatnya.
        Sistem sosialis meletakkan faktor-faktor produksi di bawah kontrol negara, Keputusan produksi dan inivestasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis, tetapi berdasarkan perencanaan terpusat (central plan). Perencanaan tersebut isinya meliputi target tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan perangkat yang dibutuhkan untuk bisa Inencapai tujuan tersebut. Negara dalam mendesain dan mengimplementasikan rencana mempertimbangkan seluruh kebutuhan warga negara berdasarkan sumber daya yang dimiliki berbasiskan tindakan kolektif daripada kepentingan privat. Perencanaan dilihat sebagai perangkat pembangunan yang menguntungkan karena hal itu bisa mengeliminasi ketidakpastian yang inhenren dalam sistem pasar. Dengan keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba negara. Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri. Akibat tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialis kerap dipandang sebagai anti nilai-nilai kewirausahaan.
            Tentu saja, dengan pilar tersebut, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi sosialis lebih simpel daripada sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi kelembagaan sistem ekonomi sosialis hanya didasarkan pada dua prinsip berikut. Pertama, negara menyiapkan seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti investasi, dari mulai proses perencanaan, operasionalisasi, pengawasan, sampai ke evaluasi. Pada level ini fungsi negara merancang sistem kepemilikan, proses transaksi, dan pembagian keuntungan berbasiskan instrumen negara. Jadi, dalam kasus hak kepemilikan, negara bukan cuma mengontrol, tetapi juga menguasai hak kepemilikan. Dengan prosedur inilah negara berharap target pemerataan pendapatan bisa dicapai. Kedua, pelaku ekonomi tidak membuat kesepakatan dengan pelaku ekonomi lainnya, tetapi setiap pelaku ekonomi membuat kontrak dengan negara sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Dengan model seperti ini, diandaikan tidak ada eksploitasi antarpelaku ekonomi, seperti dalam sistem ekonomi kapitalis. Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi.

Ekonomi Kelembagaan dan Demokrasi
            Demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan bisa memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan ekonomi, dalam perkembangannya tidak mesti menunjukkan gejala yang menggembirakan. Pasalnya, beberapa variabel penting dalam demokrasi, seperti hak kepemilikan dan kebebasan memilih tempat tinggal, juga dimiliki oleh sistem politik lainnya. Sebaliknya, kelebihan yang dimiliki oleh sistem politik lainnya, seperti kecepatan dalam pengambilan keputusan, justru absen dalaill sistem politik demokratis. Dari sisi ini, demokrasi sesungguhnya hanya bisa menggaransi dua hal penting, yakni hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties), dan kurang memberikan jaminan secara langsung bagi penumbuhan ekonomi. Hak-hak politik adalah hak berpartisipasi memaknai proses politik, sedangkan kebebasan sipil adalah hak menyatakan ekspresi, mengorganisasi,  dan melakukan demonstrasi, dan hak memeroleh otonomi dalam hal kebebasan beragama, pendidikan, perjalanan, dan hak personal lainnya. Tentu saja pemaknaan demokrasi sepetti ini masih dalam lingkup prosedural, karena semua hal tersebut bisa diperoleh lewat cara yang tidak substansial.
            Di seberang lainnya adalah sistem politik otoriter yang tidak memberikan tempat bagi kelompok sipil menyalurkan aspirasi politik dan kebebasan privat lainnya. Dalam sistem politik ini negara melakukan kontrol menyeluruh terhadap seluruh aspek kehidupan, sehingga sering kali batas antara negara dan hukum menjadi sangat tipis. Sistem politik otoriter mengasumsikan negara bisa melakukan semua hal yang menjadi kebutuhan konstituennya, termasuk kesanggupannya memaksakan semua hal yang menjadi cita-citanya. Dalam beberapa kasus negara-negara yang menggunakan sistem politik ini sebagai instrumen untuk mengelola masyarakatnya, terlihat betapa negara sangat percaya diri dalam hal mengoleksi informasi, merumuskan kebijakan, dan mengimplementasikan program tanpa melalui kelembagaan lain yang hidup dalam masyarakat. Pada sisi ini, kelebihan dari sistem ini adalah efektivitasnya dalam setiap pengambilan keputusan, sedang di sisi lainnya persoalan yang selalu muncul adalah ketidakakuratan kebijakan yang dibuat karena sering kali menggunakan informasi yang kabur.

Perubahan Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi
            Kajian yang menguliti hubungan antara kelembagaan dan pembangunan ekonomi memang belum banyak dilakukan oleh para ahli. Tetapi dari sedikit penelitian tersebut terdapat sebuah fakta berikut. Negara-negara yang telah dikelompokkan berdasarkan ketersediaan aturan main hak kepemilikan, investasi modal manusia (human capital/pendidikan), dan kinerja ekonomi menunjukkan hubungan yang kuat antara peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita awal yang tinggi (initial per capita income) tidak memberikan jaminan bagi kinerja perekonomian yang bagus dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang pendapatan awal per kapitanya tidak terlalu tinggi, letapi memiliki keunggulan dalam menjamin hak kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi publik yang elisien, justru menghasilkan kinerja perekonomian yang menonjol. Contoh mikro tentang pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi tersebut bisa dianalisis sebagai berikut. Transaksi ekonomi (pertukaran/jual beli) masyarakat di negara-negara yang kelembagaannya kuat, cenderung akan lebih banyak menggunakan cek, transfer antarbank, maupun surat-surat berharga lainnya dibandingkan dengan menggunakan uang tunai. Mereka bisa melakukan itu karena percaya bahwa pemakaian instrumen tersebut tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya klaim uangnya ditolak. Kalaupun akan muncul petnasalahan pasti terdapat aturan yang memungkinkan semua pelaku transaksi tidak akan dirugikan, misalnya karena adanya penipuane Tetapi, sebaliknya, dalam sebuah negara yang sistem perbankannya rapuh, sangat sulit bagi setiap individu untuk memakai instimmen itu untuk melakukan transaksi karena adanya ketidakpastian (risiko). Mereka lebih memilih menggunakan uang tunai sebagai alat transaksi. Tentu saja model ini akan menimbulkan inefisiensi jika transaksi berjumlah besar dan jaraknya saling berjauhan, sehingga dampaknya bisa mengerem percepatan kegiatan ekonomi.
            Sedangkan kasus makro bisa diambilkan dari hubungan antara hak kepemilikan dan investasi. Negara-negara yang jaminan hak kepemilikannya lemah cenderung akan ditinggal oleh investor, baik domestik maupun asing. Investor asing takut melakukan ekspansi modal karena sewaktu-waktu perusahaannya bisa dinasionalisasi, sedangkan usahawan domestik ragu membuka investasi karena khawatir kontraknya dibatalkan oleh pemerintah. Tentu saja peristiwa tersebut akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi karena tidak ada insentif bagi orang untuk mengerjakan investasi. Dari sini bisa dipahami mengapa setiap undang-undang mengenai PMA (Penanaman Modal Asing) di sebuah negara selalu diterangkan secara detail mengenai jaminan hak kepemilikan agar investor asing memiliki kepastian hukum atas kepemilikan lahan dan perusahaanya. Tanpa jaminan yang eksplisit tersebut bisa dipastikan investor takut untuk membuat keputusan investasi karena adanya ruang ketidakpastian (uncertainty), suatu variabel yang penting dalam kegiatan ekonomi. Pada negara yang sedang melakukan proses transisi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Pada level makro ekonomi, setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah, yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan gaji anggaran delisit, nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro isu yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal, penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan, dan mempromosikan kompetisi. Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa diterima mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonorni dari serba negara (state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar. Negara-negara yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara, biasanya pada level makro dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang besar, nilai tukar mata uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level mikro harga cenderung dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-negara yang menggunakan perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya sangat tidak efisien.

Masih Adakah Tempat untuk Negara?
            Di samping memiliki fungsi rasional, negara juga wajib mengemban peran etis untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan penduduk yang menjadi bagian dari eksistensinya. Maksud etika di sini bukan sekadar suatu pemikiran sistematis tentang moral, melainkan lebih dari itu adanya suatu pemahaman yang selalu menanyakan secara kritis dan mendasar terhadap segala hal, atau keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia (negara) seharusnya menjalankan kehidupannya. Dari kacamata ini, tidak dibenarkan sebuah upaya apapun dikerjakan dengan jalan menenggelamkan individu (komunitas) yang satu di atas hura-hura individu (komunitas) yang lain. Program-program rasional dari pembangunan pada ujungnya tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara. Jika setiap pergerakan rakyat cuma mengajak segelintir pelaku ekonomi, maka peran etis negara wajib menghentikan program pembangunan tersebut. Cara pandang ini tentu saja tidak berseberangan dengan upaya modernisasi, tetapi hanya memastikan bahwa proses menuju kemajuan harus berlandaskan kepada  cita-cita filsafat politik yang sudah dirumuskan. Fakta yang tidak bisa ditolak, setiap kebijakan pembangunan pasti dianggap merupakan proses menuju kemajuan dan kemakmuran bersama. Tetapi yang sering dialpakan, apakah proses pembangunan tersebut benar-benar telah didalami dan dipandu dengan nilai-nilai dasar negara sehingga pengerjaannya tidak mencederai sekelompok masyarakat tertentu. Hal inilah yang menjadikan pertanyaan-pertanyaan etis wajib terus dikumandangkan demi menjaga kemaslahatan bersama. Dari sinilah unsur etika bisa masuk dan sangat berperanan penting dalam menghitung setiap nisbah pembangunan yang dilaksanakan.
        Sedangkan dalam perspektif ekonomi kelembagaan, peran negara difokuskan untuk membentuk kerangka kelembagaan yang dapat mengatur kegiatan ekonomi, hak kepemilikan, penegakan, dan eksekusi hukum yang menghasilkan biaya transaksi. Dengan begitu, jika peran negara dalam kegiatan ekonomi bisa dibagi dalam empat klasifikasi, yakni stabilisasi makro ekonomi, mengoreksi kegagalan pasar, redistribusi pendapatan, dan mengarahkan proses penyatuan kegiatan ekonomi; maka peran yang terakhir merupakan wilayah yang menjadi konsentrasi peran negara dalam perspektif ekonomi kelembagaan. Maksudnya, peran negara lebih diarahkan untuk mendesain kegiatan ekonomi secara lebih efisien berdasarkan kesetaraan informasi dan posisi tawar antar aktornya. Sedangkan tiga peran negara yang paling awal menjadi fokus dari pendekatan ekonomi klasik/neoklasik dan Keynesian. Tentu saja ada banyak variasi derajat intervensi negara untuk mengatur  kegiatan perekonomian tersebut. Dari beberapa kasus negara-negara yang mengadopsi derajat intervensi tersebut, memang jarang negara (berkembang) yang mengambil model ekstrem (min/min atau max/max); kebanyakan negara mengambil model antara posisi tinggi/tinggi (intervensi ekstensif dengan tekanan pasar dikombinasikan dengan intervensi birokrasi) dan posisi rendah-rendah (intervensi selektif dengan sistem pasar bebas berpasangan dengan campur tangan minimal dalam sistem hak kepemilikan privat).

Daftar pustaka
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Erlangga,Jakarta.





#TUGAS12