Jumat, 28 Oktober 2016

Teori Ekonomi Politik





Setelah break untuk review mingguan karena ada kuis dan ujian tengah semester, minggu ini saya kembali mereview dengan materi “Teori Ekonomi Politik”. Sebelum berkembang seperti saat ini, ilmu ekonomi dulunya berinduk kepada ilmu ekonomi politik. Sedangkan ekonomi politik sendiri merupakan bagian dari ilmu filsafat. Langsung saja lebih jelasnya kita lihat apa saja yang terdapat pada bab ini

Sejarah dan Pemaknaan Ekonomi Politik
Menurut Clark  (1998:21-23) dalam Erani (2013), munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad 14 dan 16, yang biasa disebut masa transformasi besar di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feodal pada abad pertengahan. Selanjutnya, pada abad 18 muncul abad pencerahaan yang marak di Perancis dengan para pelopornya, antara lain, Voltaire, Diderot, D’Alembert, dan Condilac. Pusat gagasan dari pencerahan ide tersebut adalah adanya otonomi individu dan eksplanasi kapasitas manusia. Sedangkan istilah ekonomi politik sendiri pertama kali diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antoyne de Montchetien (1575-1621), dalam bukunya yang bertajuk Triatise on Political Economy. Sedangkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789) berjudul Inequiry into the Principles of Political Economy. Perdebatan antara para ahli ekonomi politik akhirnya memunculkan banyak sekali aliran dalam tradisi pemikiran ekonomi politik. Secara garis besar, mazhab itu dapat dipecah dalam tiga kategori, yakni:
1.              Aliran ekonomi politik konservatif yang dimotori oleh Edmund Burke.
2.           Aliran ekonomi politik klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, Thomas Malthus, David Ricardo, Nassau Senior, dan Jean Baptiste Say
3.         Aliran ekonomi politik radikal yang dipropagandakan oleh William Godwin, Thomas Paine, Marquis de Condorcet, dan Karl Marx.


Pendekatan ekonomi politik semakin relevan untuk dipakai karena struktur ekonomi sendiri tidak semata-mata ditentukan secara teknis. Ia terdiri dari dua bagian yang saling terkait. Pertama, kekuatan produksi material-pabrik dan perlangkapan (atau modal), sumber-sumber alam, manusia dengan skill yang ada (tenaga kerja) dan teknologi. Teknologi menentukan hubungan produksi yang sifatnya teknis, sehingga proporsi bahan mentah, mesin dan tenaga kerja bisa dialokasikan dengan biaya yang paling minimal. Kedua, relasi reproduksi manusia, seperti hubungan antara para pekerja dan pemilik modal atau antara para pekerja dan manajer. Begitulah struktur ekonomi tersusun dari elemen material-teknis dan hubungan manusia. Setidaknya terdapat dua tipe ekonomi politik yang bisa diterapkan, baik sebagai penasehat otentik bagi partai yang berkuasa, yakni pihak yang melihat kebijakan sebagai cara untuk memaksimalkan nisbah bagi partai, atau sebagai intelektual yang menempatkan kebijakan sebagai instrumen untuk memecahkan hambatan ekonomi politik agar bisa memaksimalkan kesejahteraan sosial sesuai amanat konstitusi.
Sementara dalam model kebijakan ekonomi sendiri, setidaknya dikenal dua perspektif yang digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan (Pipitone, tt:3-4). Pertama, pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi kesejahteraan konvensional (conventional welfare maximization). Pendekatan ini berasumsi bahwa pemerintah (negara) bersifat otonom dan eksogen terhadap sistem ekonomi sehingga setiap kebijakan yang diciptakan selalu berorientasi kepada kepentingan publik. Di sini pemerintah dianggap aktor serba tahu dan tidak memiliki kepentingan sendiri (self-interest). Kegagalan pasar dan efisiensi  dalam alokasi sumber daya merupakan pusat dari pendekatan ini. Akibat adanya kegagalan pasar dan alokasi sumber daya tersebut, pemerintah diharapkan  hadir melalui kebijakan untuk melakukan koreksi pasar sehingga kepentingan kesejahteraan publik bisa dicapai. Kedua, pendekatan yang bersandarkan pada asumsi ekonomi politik  dan sering disebut dengan "ekonomi politik baru" (new political economy). Pendekatan ini menolak ide pendekatan pertama yang menempatkan pemerintah  (negara) sebagai aktor yang "maha tahu" sehingga bisa mengatasi kegagalan pasar. Sebaliknya, pendekatan ini justru berargumentasi bahwa negara sendiri sangat berpotensi untuk mengalami kegagalan (government failure). Pendekatan ini memfokuskan kepada alokasi sumber daya publik dalam pasar politik (political market) dan menekankan kepada perilaku mementingkan diri sendiri (self-interest-motivated) dari politisi, pemilih (voters), kelompok penekan, dan  birokrat. Pemakaian pendekatan ini diperkuat oleh lima hal yaitu :
1.      Penggunaan kerangka kerja ekonomi politik berupaya menerima eksistensi dan validalitas dari perbedaan budaya politikbaik formal maupun informal.
2.    Analisis kebijakan akan memperkuat efektifitas sebuah rekomendasi karena mencegah pemikiran yang deterministic.
3.   Analisis kebijakan mencegah pengambilan kesimpulan terhadap beberapa alternative tindakan berdasarkan kepada perspektif waktu yang sempit.
4.    Analisis kebijakan yang berfokus ke Negara berkembang tidak bisa mengadopsi secara penuh orientasi teoritis statis.
5.      Analisis kebijakan lebih mampu menjelaskan interkasi antar manusia.

Teori Pilihan Publik
Pendekatan ekonomi politik baru yang menganggap negara/pemerintah, politisi atau birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan merupakan pemicu lahirnya pendekatan public choice (Pilihan Publik). Dalam konteksnya, masyarakat pemilih dikategorikan sebagai pembeli barang-barang publik (kolektif) sementara pemerintah sebagai penyedia barang publik. Dalam praktiknya, masyarakat “membeli barang publik” sebagai pemilihan umum untuk memilih calon legislatif dan eksekutif dan pemerintah yang telah dipilih harus menyediakan barang publik setalah menang sebagai wujud adanya ekonomi politik berupa demokrasi. Menurut Knight, 2014;190, aktor-aktor negara memiliki kepentingan sendiri. Kepentingan itu termasuk tawar-menawar (bargaining) memiliki dua kepentingan yaitu kepentingan langsung (direct interest) memicu aktor mengabaikan pelayanan eksternal, dan kepentingan tidak langsung (indirect interest) mengakibatkan ketidaksempurnaan distribusi dari kelembagaan formal dalam menyusun kebijakan jangka panjang. Asumsi yang digunakan dalam teori pilihan publik (Streeton dan Orchard, 1994:123)  antara lain:
  1. Kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi
  2. Motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan teori ekonomi neoklasik
  3. Kecukupan kepentingan individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik
  4. Asumsi kepentingan yang sama dipahami dengan teori neoklasik
 Berikut adalah tabel perbedaan cara pandang ekonomi klasik dengan ekonomi publik :
Variabel
Ekonomi Klasik
Pilihan Publik
Pemasok
Produsen, pengusaha, distributor
Politisi, parpol, birokrasi, pemerintah
Peminta
Konsumen
Pemilih
Jenis Komoditas
Private goods
Public goods
Alat Transaksi
Uang
Suara
Jenis Transaksi
sukarela
Politik sebagai pertukaran

 
Teori Rent-Seeking
Dilatar belakangi dari pemerintah yang akan menentukan strategi perekonomian, yang diambil dan menjadi penentu arah serta alat kontrol bagi keseluruhan kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh masyarakat, swasta, maupun pemerintah sendiri. Peran pemerintah sebagai penentu strategi ekonomi ini, terkadang menarik pihak-pihak tertentu untuk menjalin hubungan dengan pemerintah. Hal ini para pihak-pihak tertentu tersebut melakukannya demi mencari keuntungan. Secara empiris, pihak-pihak yang mencari keuntungan tersebut lazim disebut sebagai pemburu rente (rent-seekers). Hal ini dikarenakan pada pokoknya mereka mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumber dayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya.Singkatnya, dimana semakin besar perluasan pemerintah menentukan alokasi kesejahteraan, maka kian besar kesempatan bagi munculnya para pencari rente (Little, 2002;128).
Nicholson (1999) dalam Deliarnov (2006;59) mengatakan bahwa yang dimaksud sewa ekonomi atau rente suatu produksi tertentu adalah kelebihan pembayaran atas biaya minimum yang diperlukan untuk tetap mengonsumsi faktor produk tersebut. Rente dapat diartikan juga adalah sebuah kegiatan untuk mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Dalam teori ekonomi klasik teori rent-seeking ini tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan juga berarti positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun upah (Erani, 2013;107). Satu gagasan yang di ungkapkan oleh Buchanan untuk mencegah munculnya pemburuan rente adalah dengan membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna, yakni melalui peniadaan halangan masuk bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan (Erani, 2013;110).

Teori Redistribusi dan Keadilan
Pengambilan kebijakan (pemerintah) lebih memberikan tekanan kepada kegiatan menyaring dan memilah milah nilai kelompok kelompok kepentingan khusus, memilih kelompok kelompok yang merka anggap tepat dan mengalihkan sumber daya kepada kelompok kelompok bersangkutan melalui saluran hukum. Setiap kali pemerintah memberikan perlakuan istimewah atau pengampunan pajak, menurunkan harga, memberikan perlindungan permanen dan kelompok pekerja tertentu sehingga mereka tidak dapat dipecat, atau memberikan hak khusus pada bidang usaha tertentu. Maka berarti dengan sendirinya diciptakan pula biaya dan manfaat yang melenyapkan rangsangan peluang bagi pihak pihak lain (de Soto1992). Pesaingan memperoleh hak khusus ini, yang berjalan melauli proses pembuatan aturan,mengakibatkan masyarakat tertular permainan politik, dan banyaknya peraturan yang buruk menimbulkan berbagai biaya bagi sektor informal dan sektor formal adalah akibat langsung dari persaingan ini.    Menurut Stingler, ada dua alternatif pandangan tentang bagaimana sebuah peraturan diberlakukan. Pertama, peraturan  dilembagakan terutama untuk membelakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian sub-kelas dari publik tersebut. Kedua, suatu tipe analsis dimana proses politik dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional 
        Permasalah pemanfaatan hukum bagi kepentingan kelompok tertentu, saat ini perkembangannya sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukan organisasi untuk memperoleh pendapatn dengan Cuma Cuma yang dibagikan negara atau disalurkan melalui sistem hukum atau setidaktidaknya untuk melindungi diri sendiri dari proses ini dengan membentuk apa yang dinamakan redistributiv combines, yang tidak terbatas pada bidang bidang yang ;azimnya erat berhubungan dengan kegiatan politik partai politik, media massar, atau organisasi informal tetapi meluas sampai ke perusahaanperushaaan dan bahkan pada keluarga keluarga. Menurut rachbini (1996), dalampola redistributic combines ini sumber sumber ekonomi aset produktif, dan modal didistribusikan secara terbatab hanya di lingkungan segelintir orang. Berlakungan pola redistrinutive combines ini terjadi akibat sistem politik yang tertypu karena dilindungi sistem hukum yang kabur dan ketidakadaan rule of law di bidang ekonomi. Menghubungkannya dengan teori keadilan akan menjadi masalah yang sudah umum dipemerintahan. John Rawl yang membangun teori kedailan mengkosptualisasikan teori keadilan bertolak dari prinsip :
a.     Setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang  sejajar sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimiliki orang lain.
b.      Ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani keduanya.

Melalui cara berpikir tersebut, Rawls percaya bahwa suatu keadilan datang dari sesuatu yang benar dan bukan sebaliknya. Keadilan sosial yang dikonsepkan oleh Rawls diarahkan kepada penyiapan nilai terhadap sebuah standar aspek distribusi dari struktur standar masyarakat. Selain itu, dalam kaintannya dengan pasar bebas, teori keadilan Rawls merupakan kritik terhadap sistem keadilan Adam Smith. Raws setuju dengan konsep Smith mengenai perwujudan diri manusia sesuai dengan pikihan bebas dan usaha setiap orang. Ia juga sepakat dengan Smith bahwa pasar bebasmenyediakan kemungkinan terbaik bagi perwujudan penentuan diri manusia. Namun Rawls melihat mekanisme pasar bebas gagal berfungsi secara baik, oleh karena itu, menurut Rawls pasar bebas justru menimbulkan ketidakadilan. Karena setiap orang masuk kedalam pasar dengan bakat dan kemampuan yang berbeda, peluang sama yang diberikan pasar justru tidak akan menguntungkan semua peserta. Pasar bebas akan mencipatakan kepincangan karena perbedaan bakat dan kemampuan antara satu orang dengan yang lainnya.

Daftar pustaka
Clark, Barry. 1998. Political Economy: A Comperative Approach. Second Edition. London: Wesport – Connecticut.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta; Erlangga.
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan). Erlangga,Jakarta.
Little, I.M.D. 2002. Ethics, Economics and Politics. New York; Oxford University Press.
Rachbini, Didik J. 1991. Dimensi Ekonomi dan Politik pada Sektor Informal. Prisma. No.5, Tahun XX, Mei.


#TUGAS7


Kamis, 13 Oktober 2016

Biaya Transaksi pada Kebijakan Tax Amnesty


Studi kasus:
Pelaporan Harta Tax Amnesty Capai Rp 3.811 Triliun
08 Okt 2016, 11:25 WIB

Liputan6.com, Jakarta. Antusiasme masyarakat untuk ikut Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) semakin besar. Hal tersebut terlihat dari jumlah harta yang dilaporkan dalam tax amnesty dalam tahap kedua ini.
Berdasarkan data dashboard Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Jakarta, Sabtu (8/10/2016) pada pukul 10.30 WIB, nilai pernyataan harta berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) telah mencapai Rp 3.811 triliun.
Jika dirinci, sebanyak Rp 2.690 triliun merupakan deklarasi dalam negeri. Kemudian, sebanyak RP 979 triliun berupa deklarasi luar negeri dan sisanya Rp 142 triliun merupakan dana repatriasi.
Pada data tersebut disebutkan, uang tebusan berdasarkan surat pernyataan harta (SPH) mencapai RP 93,2 triliun.
Adapun rinciannya, sebanyak Rp 79,8 triliun berasal dari OP non UMKM, Rp 10,3 triliun badan non UMKM. Kemudian sebanyak Rp 2,93 OP UMKM dan Rp 194 miliar badan UMKM.
Lebih lanjut, realisasi berdasarkan surat setoran pajak (SSP) mencapai Rp 97,3 triliun. Sebanyak Rp 93,8 triliun merupakan pembayaran tebusan, Rp 3,06 triliun dari pembayaran tunggakan, dan Rp 364 miliar dari pembayaran bukti permulaan.
Patut diketahui, tax amnesty atau Program Pengampunan Pajak merupakan salah satu program pemerintah yang menuai pujian dari internasional. Hal tersebut dibuktikan ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengunjungi Amerika Serika (AS).
"Saya ditanya di Stanford, kenapa Indonesia bisa jadi yang tersukses laksanakan tax amnesty di seluruh dunia," kata dia beberapa waktu lalu. (Amd/Nrm)

Analisis
Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban pajak baru kepada masyarakat, dunia usaha, dan para pekerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri adalah melalui kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak. Meskipun bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi kesulitan anggaran negara, tax amnesty jika dirancang dan dilaksanakan secara baik  dapat membantu memperbaiki citra negatif yang selama ini melekat pada aparat pajak. Tax amnesty diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum maksimal, disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya pengawasan, didukung semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak.  Selain itu, pemerintah memilih menerapkan kebijakan tax amnesty ini tentunya akan memberikan informasi yang lebih transparan sehingga ke depannya penerimaan pemerintah dari sektor pajak akan lebih besar.
Faktor yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak adalah jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak maupun oleh pemerintah. Dari sisi wajib pajak, Bursa Efek Indonesia untuk menyukseskan tax amnesty menerapkan pemangkasan sejumlah biaya transaksi perdagangan saham. Sejumlah biaya yang didiskon, antara lain, pemangkasan biaya listing saham perdana.  Selain itu, diskon biaya transaksi saham diberikan kepada pemilik modal yang mendeklarasikan pemindahan kepemilikan aset saham atas nama pihak lain menjadi miliknya. Kepemilikan saham dideklarasikan baik di dalam maupun luar negeri.
Dari sisi pemerintah sendiri, dengan  adanya kebijakan tax amnesty tersebut, pemerintah bisa menghemat biaya untuk membawa para penghindar wajib pajak ke pengadilan. Sehingga dengan  kebijakan tax amnesty pemerintah dapat mengusut secara detail orang yang sengaja mangkir dari pajak. Pemerintah tentunya memiliki badan berwenang yang dapat menggali informasi seperti KPK, BPK, PPATK, kejaksaan, dan kepolisian atau mungkin memanfaatkan hubungan dengan lembaga di luar negeri yang berkaitan dengan kebijakan ini. Kebijakan ini dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak di samping untuk meningkatkan penerimaan negara yang akan menutup defisit APBN. Deklarasi aset wajib pajak dalam program tax amnesty lebih penting dalam menciptakan sistem legal yang lebih baik untuk pembayaran pajak di Indonesia ke depannya.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya tax amnesty pemerintah mengetahui jumlah dana para wajib pajak baik di dalam negeri maupun orang Indonesia di luar negeri sehingga dengan adanya pertambahan wajib pajak yang sebelumnya mangkir mengakibatkan pendapatan negara sektor pajak akan semakin meningkat. Baik pajak dalam negeri maupun pajak dari dana orang Indonesia yang berada di luar negeri. Namun, selain itu perekonomian akan lebih baik, investasi akan lebih banyak, menyerap tenaga kerja, menciptakan daya beli, dan  melahirkan objek pajak baru. Objek pajak ini baru inilah yang nantinya dapat meningkatkan penerimaan negara sektor pajak. Sehingga, dengan adanya penambahan objek pajak, maka pembangunan dan pemerataan ekonomi diharapkan dapat tercapai.

Daftar Pustaka
Liputan6.com. 2016. Pelaporan Harta Tax Amnesty Capai Rp 3.811 Triliun, (online), (http://bisnis.liputan6.com/read/2621114/pelaporan-harta-tax-amnesty-capai-rp-3811-triliun diakses tanggal 11 Oktober 2016)
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta


Sabtu, 08 Oktober 2016

Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif


Pada minggu ini saya akan meringkas materi tentang “Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif”. Masalah serius dalam kegiatan ekonomi adalah ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam posisi tawar menawar maupun informasi asimetris. Implikasinya, dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada salah satu/beberapa pihak yang memperoleh keuntungan diatas beban pihak lain. Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan aktivitas yang ideal karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, harus dicari mekanisme dan desain aturan main yang bertujuan membangun kesetaraan antar pelaku ekonomi, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Pada titik inilah keberadaan teori kontrak dan tindakan kolektif sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang teori kontrak tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam sebagai dasar formulasi regulasi/kebijakan.

Teori Kontrak dan Informasi Asimetris
Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsukuensi  adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Pelaku – Pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat insentif kesukaran alami yang berbeda untuk menyetujui  isi atas kontrak yang dibuat. Disebabkan tindakan  membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik yang berlainan. Selain itu Hubungan Kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan terhadap kesinambungannya. Dalam TCE , agen penegakan kontrak dari luar yaitu lembaga hukum diasumsikan eksis, meskipun kadangkala kinerjanya mengalami  hambatan-hambatan akibat kesulitan memverikasi  yang buruk maupun yang bagus.
Dalam kenyataanya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan. Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya contigencies. Kedua, kinerja kontrak khusus misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit. Munculnya ketidakpastian (uncertainty) sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi dimana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan yang dialami oleh pelaku – pelaku untuk melakukan transaksi di pasar.

Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah bermufakat dalam persoalan penegakan (dealing with the problem of enforcement). Kontrak menghubungkan antara satu pelaku dan mitra lainnya karena adanya asas saling menguntungkan tetapi pada saat yang sama kontrak juga beresiko melalui praktek oprtunisme. Hal ini membuat tugas untuk mengatur hak – hak menjadi isu utama , dengan prosedur penegakan menjadi  kunci menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kesepakatan. Isu yang utama adalah mencari kesepakatan yang optimal, Yakni kontrak didesain sebegitu rupa sehingga perilaku memilki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah dimufakati.
Kontrak semacam ini ssemestinya harus dapat  memaksakan sendiri  (self-enforcing), dalam arti implementasinya tergantung pada mekanisme otomatis. Seperti yang dikatakan Menard hal itu membawa kepada pengertian  batas kepada ‘penataan publik’. Penataan publik bisa didefinisikan melampaui  aturan main untuk wilayah penataan privat. Penataan Publik juga mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara eksplisit didesain untuk menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai hasilnya, diharapkan penataan publik tersebut bertemu dengan penataan sektor swasta (privat).

Teori Tindakan Kolektif dan Free-Riders
Teori tindakan Kolektif pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson khususnya saat mengupas masalah  –  masalah kelompok kepentingan . Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas dan mendesain jalan keluar bersama bagi pengelolaan sumber daya bersama atau penyediaan barang – barang publik. Menurut Olson, determinan penting bagi  keberhasilan suatu tindakan bersama adalah ukuran (size), homogenitas (homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of the group).
Konsentrasi terhadap free-riders tersebut merupakan  pangkal dari persoalan yang menyelimuti sebuah kelompok (kepentingan). Dalam posisi ini, tindakan kolektif bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah free-riders, tapi dapat pula tindakan kolektif sebagai sumber munculnya penunggang bebas. Dalam Proposisi yang pertama, mereka yang dirugikan dari keberadaan free-riders menggalang kekuatan yang berujung pada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas tersebut. Sedangkan yang kedua, tindakan kolektif yang didesain secara kurang lengkap besar pula peluangnya  untuk menciptakan free-riders baru misalnya ketidakjelasan  aturan main tentang hukuman dan insentif,

Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif
Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam Yustika, 2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor rasional berupaya memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial, dan kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial dan kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya tindakan rasional, maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa direkomendasikan (Miller, 1992:25). Pertama, perlunya solusi internal yang kuat (dengan asumsi tidak ada perubahan dalam keyakinan dan preferensi) terhadap problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam Yustika, 2008:120) mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya (overestimate) terhadap pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii) sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action).
Kedua, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka tidak perlu membahas masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk, cukup disediakan kopi ataupun makanan yang membuat para demonstran mau terlibat dalam aksi protes tersebut. Ketiga, Taylor (1987 dalam Yustika, 2008:121) dan Elster (1989 dalam Yustika, 2008:121) berpendapat tentang perlunya memunculkan "kerjasama kondisional yang saling menguntungkan" (mutual conditional cooperation). Postulat ini mengemuka berdasarkan teori "prisoner's dilemma" yang sudah cukup mapan.


Daftar Pustaka
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta



 #TUGAS5