Pada minggu ini saya akan meringkas materi tentang “Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif”. Masalah serius dalam kegiatan ekonomi adalah ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam posisi tawar menawar maupun informasi asimetris. Implikasinya, dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada salah satu/beberapa pihak yang memperoleh keuntungan diatas beban pihak lain. Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan aktivitas yang ideal karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, harus dicari mekanisme dan desain aturan main yang bertujuan membangun kesetaraan antar pelaku ekonomi, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Pada titik inilah keberadaan teori kontrak dan tindakan kolektif sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang teori kontrak tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam sebagai dasar formulasi regulasi/kebijakan.
Teori Kontrak dan Informasi Asimetris
Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk
melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya
dengan konsukuensi adanya tindakan
balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Pelaku – Pelaku dalam kontrak
tersebut memiliki derajat insentif kesukaran alami yang berbeda untuk
menyetujui isi atas kontrak yang dibuat.
Disebabkan tindakan membuat kontrak
tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang berbeda,
pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik
yang berlainan. Selain itu Hubungan Kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan
terhadap kesinambungannya. Dalam TCE , agen penegakan kontrak dari luar yaitu
lembaga hukum diasumsikan eksis, meskipun kadangkala kinerjanya mengalami hambatan-hambatan akibat kesulitan
memverikasi yang buruk maupun yang
bagus.
Dalam kenyataanya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan.
Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang
yang cukup besar bagi munculnya contigencies. Kedua, kinerja kontrak khusus
misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan
pekerjaan yang rumit. Munculnya ketidakpastian (uncertainty) sebetulnya dapat
ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris dalam kegiatan ekonomi.
Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi dimana
ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan yang dialami oleh pelaku – pelaku
untuk melakukan transaksi di pasar.
Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah
bermufakat dalam persoalan penegakan (dealing with the problem of enforcement).
Kontrak menghubungkan antara satu pelaku dan mitra lainnya karena adanya asas
saling menguntungkan tetapi pada saat yang sama kontrak juga beresiko melalui
praktek oprtunisme. Hal ini membuat tugas untuk mengatur hak – hak menjadi isu
utama , dengan prosedur penegakan menjadi
kunci menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kesepakatan. Isu yang
utama adalah mencari kesepakatan yang optimal, Yakni kontrak didesain sebegitu
rupa sehingga perilaku memilki insentif yang memadai untuk mematuhi atas
kontrak yang sudah dimufakati.
Kontrak semacam ini ssemestinya harus dapat memaksakan sendiri (self-enforcing), dalam arti implementasinya
tergantung pada mekanisme otomatis. Seperti yang dikatakan Menard hal itu
membawa kepada pengertian batas kepada
‘penataan publik’. Penataan publik bisa didefinisikan melampaui aturan main untuk wilayah penataan privat.
Penataan Publik juga mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara
eksplisit didesain untuk menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai
hasilnya, diharapkan penataan publik tersebut bertemu dengan penataan sektor
swasta (privat).
Teori Tindakan Kolektif dan Free-Riders
Teori tindakan Kolektif pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson
khususnya saat mengupas masalah – masalah kelompok kepentingan . Teori ini sangat
berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas dan mendesain jalan keluar
bersama bagi pengelolaan sumber daya bersama atau penyediaan barang – barang
publik. Menurut Olson, determinan penting bagi
keberhasilan suatu tindakan bersama adalah ukuran (size), homogenitas
(homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of the group).
Konsentrasi terhadap free-riders tersebut merupakan pangkal dari persoalan yang menyelimuti
sebuah kelompok (kepentingan). Dalam posisi ini, tindakan kolektif bisa menjadi
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah free-riders, tapi dapat pula
tindakan kolektif sebagai sumber munculnya penunggang bebas. Dalam Proposisi
yang pertama, mereka yang dirugikan dari keberadaan free-riders menggalang
kekuatan yang berujung pada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi
terhadap penunggang bebas tersebut. Sedangkan yang kedua, tindakan kolektif
yang didesain secara kurang lengkap besar pula peluangnya untuk menciptakan free-riders baru misalnya
ketidakjelasan aturan main tentang hukuman
dan insentif,
Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif
Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni
pendekatan kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller,
1992:24; dalam Yustika, 2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan
kelembagaan sebagai produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu
sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan
lemah menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang
pasti ada (given framework) karena aktor-aktor rasional berupaya
memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati
deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial,
dan kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun,
dalam pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu
munculnya tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial
dan kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya
memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar
untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan
rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya tindakan
rasional, maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa
direkomendasikan (Miller, 1992:25). Pertama, perlunya solusi internal yang kuat
(dengan asumsi tidak ada perubahan dalam keyakinan dan preferensi) terhadap
problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam Yustika, 2008:120)
mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya (overestimate)
terhadap pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti
ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan
(ii) sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang
membuat kegunaan partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan
(outcome of the action).
Kedua, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang
untuk berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka
tidak perlu membahas masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk,
cukup disediakan kopi ataupun makanan yang membuat para demonstran mau terlibat
dalam aksi protes tersebut. Ketiga, Taylor (1987 dalam Yustika, 2008:121) dan
Elster (1989 dalam Yustika, 2008:121) berpendapat tentang perlunya memunculkan
"kerjasama kondisional yang saling menguntungkan" (mutual conditional
cooperation). Postulat ini mengemuka berdasarkan teori "prisoner's
dilemma" yang sudah cukup mapan.
Daftar Pustaka
Yustika,
Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan:
Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta
#TUGAS5
mantap dit wkwk
BalasHapus