Sabtu, 08 Oktober 2016

Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif


Pada minggu ini saya akan meringkas materi tentang “Teori Kontrak dan Tindakan Kolektif”. Masalah serius dalam kegiatan ekonomi adalah ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam posisi tawar menawar maupun informasi asimetris. Implikasinya, dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada salah satu/beberapa pihak yang memperoleh keuntungan diatas beban pihak lain. Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan aktivitas yang ideal karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, harus dicari mekanisme dan desain aturan main yang bertujuan membangun kesetaraan antar pelaku ekonomi, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Pada titik inilah keberadaan teori kontrak dan tindakan kolektif sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang teori kontrak tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam sebagai dasar formulasi regulasi/kebijakan.

Teori Kontrak dan Informasi Asimetris
Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsukuensi  adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Pelaku – Pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat insentif kesukaran alami yang berbeda untuk menyetujui  isi atas kontrak yang dibuat. Disebabkan tindakan  membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik yang berlainan. Selain itu Hubungan Kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan terhadap kesinambungannya. Dalam TCE , agen penegakan kontrak dari luar yaitu lembaga hukum diasumsikan eksis, meskipun kadangkala kinerjanya mengalami  hambatan-hambatan akibat kesulitan memverikasi  yang buruk maupun yang bagus.
Dalam kenyataanya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan. Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya contigencies. Kedua, kinerja kontrak khusus misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit. Munculnya ketidakpastian (uncertainty) sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi dimana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan yang dialami oleh pelaku – pelaku untuk melakukan transaksi di pasar.

Mekanisme Penegakan dan Instrumen Ekstralegal
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah bermufakat dalam persoalan penegakan (dealing with the problem of enforcement). Kontrak menghubungkan antara satu pelaku dan mitra lainnya karena adanya asas saling menguntungkan tetapi pada saat yang sama kontrak juga beresiko melalui praktek oprtunisme. Hal ini membuat tugas untuk mengatur hak – hak menjadi isu utama , dengan prosedur penegakan menjadi  kunci menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kesepakatan. Isu yang utama adalah mencari kesepakatan yang optimal, Yakni kontrak didesain sebegitu rupa sehingga perilaku memilki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah dimufakati.
Kontrak semacam ini ssemestinya harus dapat  memaksakan sendiri  (self-enforcing), dalam arti implementasinya tergantung pada mekanisme otomatis. Seperti yang dikatakan Menard hal itu membawa kepada pengertian  batas kepada ‘penataan publik’. Penataan publik bisa didefinisikan melampaui  aturan main untuk wilayah penataan privat. Penataan Publik juga mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara eksplisit didesain untuk menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai hasilnya, diharapkan penataan publik tersebut bertemu dengan penataan sektor swasta (privat).

Teori Tindakan Kolektif dan Free-Riders
Teori tindakan Kolektif pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson khususnya saat mengupas masalah  –  masalah kelompok kepentingan . Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas dan mendesain jalan keluar bersama bagi pengelolaan sumber daya bersama atau penyediaan barang – barang publik. Menurut Olson, determinan penting bagi  keberhasilan suatu tindakan bersama adalah ukuran (size), homogenitas (homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of the group).
Konsentrasi terhadap free-riders tersebut merupakan  pangkal dari persoalan yang menyelimuti sebuah kelompok (kepentingan). Dalam posisi ini, tindakan kolektif bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah free-riders, tapi dapat pula tindakan kolektif sebagai sumber munculnya penunggang bebas. Dalam Proposisi yang pertama, mereka yang dirugikan dari keberadaan free-riders menggalang kekuatan yang berujung pada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas tersebut. Sedangkan yang kedua, tindakan kolektif yang didesain secara kurang lengkap besar pula peluangnya  untuk menciptakan free-riders baru misalnya ketidakjelasan  aturan main tentang hukuman dan insentif,

Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif
Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam Yustika, 2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor rasional berupaya memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial, dan kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial dan kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya tindakan rasional, maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa direkomendasikan (Miller, 1992:25). Pertama, perlunya solusi internal yang kuat (dengan asumsi tidak ada perubahan dalam keyakinan dan preferensi) terhadap problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam Yustika, 2008:120) mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya (overestimate) terhadap pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii) sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action).
Kedua, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka tidak perlu membahas masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk, cukup disediakan kopi ataupun makanan yang membuat para demonstran mau terlibat dalam aksi protes tersebut. Ketiga, Taylor (1987 dalam Yustika, 2008:121) dan Elster (1989 dalam Yustika, 2008:121) berpendapat tentang perlunya memunculkan "kerjasama kondisional yang saling menguntungkan" (mutual conditional cooperation). Postulat ini mengemuka berdasarkan teori "prisoner's dilemma" yang sudah cukup mapan.


Daftar Pustaka
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta



 #TUGAS5

1 komentar: