Setelah break untuk review mingguan karena ada kuis dan ujian tengah semester, minggu ini saya kembali mereview dengan materi “Teori Ekonomi Politik”. Sebelum berkembang seperti saat ini, ilmu ekonomi dulunya berinduk kepada ilmu ekonomi politik. Sedangkan ekonomi politik sendiri merupakan bagian dari ilmu filsafat. Langsung saja lebih jelasnya kita lihat apa saja yang terdapat pada bab ini
Sejarah dan Pemaknaan Ekonomi Politik
Menurut Clark (1998:21-23) dalam Erani (2013), munculnya
teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad 14 dan 16, yang biasa
disebut masa transformasi besar di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan
yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feodal pada abad pertengahan.
Selanjutnya, pada abad 18 muncul abad pencerahaan yang marak di Perancis dengan
para pelopornya, antara lain, Voltaire, Diderot, D’Alembert, dan Condilac.
Pusat gagasan dari pencerahan ide tersebut adalah adanya otonomi individu dan
eksplanasi kapasitas manusia. Sedangkan istilah ekonomi politik sendiri pertama
kali diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antoyne de Montchetien (1575-1621),
dalam bukunya yang bertajuk Triatise on Political Economy. Sedangkan
dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah ekonomi politik terjadi pada 1767
lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789) berjudul Inequiry into
the Principles of Political Economy. Perdebatan antara para ahli ekonomi politik
akhirnya memunculkan banyak sekali aliran dalam tradisi pemikiran ekonomi
politik. Secara garis besar, mazhab itu dapat dipecah dalam tiga kategori,
yakni:
1. Aliran ekonomi politik
konservatif yang dimotori oleh Edmund Burke.
2. Aliran ekonomi politik klasik
yang dipelopori oleh Adam Smith, Thomas Malthus, David Ricardo, Nassau Senior,
dan Jean Baptiste Say
3. Aliran ekonomi politik
radikal yang dipropagandakan oleh William Godwin, Thomas Paine, Marquis de
Condorcet, dan Karl Marx.
Pendekatan ekonomi
politik semakin relevan untuk dipakai karena struktur ekonomi sendiri tidak
semata-mata ditentukan secara teknis. Ia terdiri dari dua bagian yang saling
terkait. Pertama, kekuatan produksi material-pabrik dan perlangkapan (atau
modal), sumber-sumber alam, manusia dengan skill yang ada (tenaga kerja) dan
teknologi. Teknologi menentukan hubungan produksi yang sifatnya teknis,
sehingga proporsi bahan mentah, mesin dan tenaga kerja bisa dialokasikan dengan
biaya yang paling minimal. Kedua, relasi reproduksi manusia, seperti hubungan
antara para pekerja dan pemilik modal atau antara para pekerja dan manajer.
Begitulah struktur ekonomi tersusun dari elemen material-teknis dan hubungan
manusia. Setidaknya terdapat dua tipe ekonomi politik yang bisa diterapkan,
baik sebagai penasehat otentik bagi partai yang berkuasa, yakni pihak yang
melihat kebijakan sebagai cara untuk memaksimalkan nisbah bagi partai, atau
sebagai intelektual yang menempatkan kebijakan sebagai instrumen untuk
memecahkan hambatan ekonomi politik agar bisa memaksimalkan kesejahteraan
sosial sesuai amanat konstitusi.
Sementara dalam
model kebijakan ekonomi sendiri, setidaknya dikenal dua perspektif yang
digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan (Pipitone, tt:3-4).
Pertama, pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi kesejahteraan konvensional
(conventional welfare maximization). Pendekatan ini berasumsi bahwa pemerintah
(negara) bersifat otonom dan eksogen terhadap sistem ekonomi sehingga setiap
kebijakan yang diciptakan selalu berorientasi kepada kepentingan publik. Di
sini pemerintah dianggap aktor serba tahu dan tidak memiliki kepentingan sendiri (self-interest). Kegagalan pasar dan
efisiensi dalam alokasi sumber daya merupakan pusat dari pendekatan ini. Akibat adanya
kegagalan pasar dan alokasi sumber daya tersebut, pemerintah diharapkan hadir melalui kebijakan untuk melakukan
koreksi pasar sehingga kepentingan kesejahteraan publik bisa dicapai. Kedua,
pendekatan yang bersandarkan pada asumsi ekonomi politik dan sering disebut dengan "ekonomi
politik baru" (new political economy). Pendekatan ini menolak ide
pendekatan pertama yang menempatkan pemerintah
(negara) sebagai aktor yang "maha tahu" sehingga bisa
mengatasi kegagalan pasar. Sebaliknya, pendekatan ini justru berargumentasi
bahwa negara sendiri sangat berpotensi untuk mengalami kegagalan (government
failure). Pendekatan ini memfokuskan kepada alokasi sumber daya publik dalam
pasar politik (political market) dan menekankan kepada perilaku mementingkan
diri sendiri (self-interest-motivated) dari politisi, pemilih (voters), kelompok
penekan, dan birokrat. Pemakaian
pendekatan ini diperkuat oleh lima hal yaitu :
1. Penggunaan
kerangka kerja ekonomi politik berupaya menerima eksistensi dan validalitas
dari perbedaan budaya politikbaik formal maupun informal.
2. Analisis
kebijakan akan memperkuat efektifitas sebuah rekomendasi karena mencegah
pemikiran yang deterministic.
3. Analisis
kebijakan mencegah pengambilan kesimpulan terhadap beberapa alternative
tindakan berdasarkan kepada perspektif waktu yang sempit.
4. Analisis
kebijakan yang berfokus ke Negara berkembang tidak bisa mengadopsi secara penuh
orientasi teoritis statis.
5. Analisis
kebijakan lebih mampu menjelaskan interkasi antar manusia.
Teori
Pilihan Publik
Pendekatan ekonomi
politik baru yang menganggap negara/pemerintah, politisi atau birokrat sebagai
agen yang memiliki kepentingan merupakan pemicu lahirnya pendekatan public choice (Pilihan Publik). Dalam
konteksnya, masyarakat pemilih dikategorikan sebagai pembeli barang-barang
publik (kolektif) sementara pemerintah sebagai penyedia barang publik. Dalam
praktiknya, masyarakat “membeli barang publik” sebagai pemilihan umum untuk
memilih calon legislatif dan eksekutif dan pemerintah yang telah dipilih harus
menyediakan barang publik setalah menang sebagai wujud adanya ekonomi politik
berupa demokrasi. Menurut
Knight, 2014;190, aktor-aktor negara memiliki kepentingan sendiri. Kepentingan
itu termasuk tawar-menawar (bargaining)
memiliki dua kepentingan yaitu kepentingan langsung (direct interest) memicu
aktor mengabaikan pelayanan eksternal, dan kepentingan tidak langsung (indirect
interest) mengakibatkan ketidaksempurnaan distribusi dari kelembagaan formal
dalam menyusun kebijakan jangka panjang. Asumsi yang digunakan dalam teori pilihan
publik (Streeton dan Orchard, 1994:123)
antara lain:
- Kecukupan
kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi
- Motif
kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan teori ekonomi neoklasik
- Kecukupan
kepentingan individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik
- Asumsi
kepentingan yang sama dipahami dengan teori neoklasik
Berikut adalah tabel perbedaan cara
pandang ekonomi klasik dengan ekonomi publik :
Variabel
|
Ekonomi Klasik
|
Pilihan Publik
|
Pemasok
|
Produsen,
pengusaha, distributor
|
Politisi,
parpol, birokrasi, pemerintah
|
Peminta
|
Konsumen
|
Pemilih
|
Jenis
Komoditas
|
Private
goods
|
Public
goods
|
Alat
Transaksi
|
Uang
|
Suara
|
Jenis
Transaksi
|
sukarela
|
Politik
sebagai pertukaran
|
Teori
Rent-Seeking
Dilatar belakangi
dari pemerintah yang akan menentukan strategi perekonomian, yang diambil dan
menjadi penentu arah serta alat kontrol bagi keseluruhan kegiatan ekonomi yang
dilakukan baik oleh masyarakat, swasta, maupun pemerintah sendiri. Peran
pemerintah sebagai penentu strategi ekonomi ini, terkadang menarik pihak-pihak
tertentu untuk menjalin hubungan dengan pemerintah. Hal ini para pihak-pihak
tertentu tersebut melakukannya demi mencari keuntungan. Secara empiris,
pihak-pihak yang mencari keuntungan tersebut lazim disebut sebagai pemburu
rente (rent-seekers). Hal ini dikarenakan pada pokoknya mereka mencari peluang
untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan
sumber dayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis
kegiatan tertentu yang diaturnya.Singkatnya, dimana semakin besar perluasan
pemerintah menentukan alokasi kesejahteraan, maka kian besar kesempatan bagi
munculnya para pencari rente (Little, 2002;128).
Nicholson (1999)
dalam Deliarnov (2006;59) mengatakan bahwa yang dimaksud sewa ekonomi atau
rente suatu produksi tertentu adalah kelebihan pembayaran atas biaya minimum
yang diperlukan untuk tetap mengonsumsi faktor produk tersebut. Rente dapat
diartikan juga adalah sebuah kegiatan untuk mendapatkan pendapatan dengan cara
monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Dalam teori ekonomi
klasik teori rent-seeking ini tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan
ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan juga berarti positif karena dapat
memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin
mendapatkan laba maupun upah (Erani, 2013;107). Satu gagasan yang di
ungkapkan oleh Buchanan untuk mencegah munculnya pemburuan rente adalah dengan
membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna, yakni
melalui peniadaan halangan masuk bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan
(Erani, 2013;110).
Teori
Redistribusi dan Keadilan
Pengambilan
kebijakan (pemerintah) lebih memberikan tekanan kepada kegiatan menyaring dan
memilah milah nilai kelompok kelompok kepentingan khusus, memilih kelompok
kelompok yang merka anggap tepat dan mengalihkan sumber daya kepada kelompok
kelompok bersangkutan melalui saluran hukum. Setiap kali pemerintah memberikan
perlakuan istimewah atau pengampunan pajak, menurunkan harga, memberikan
perlindungan permanen dan kelompok pekerja tertentu sehingga mereka tidak dapat
dipecat, atau memberikan hak khusus pada bidang usaha tertentu. Maka berarti
dengan sendirinya diciptakan pula biaya dan manfaat yang melenyapkan rangsangan
peluang bagi pihak pihak lain (de Soto1992). Pesaingan memperoleh hak khusus
ini, yang berjalan melauli proses pembuatan aturan,mengakibatkan masyarakat
tertular permainan politik, dan banyaknya peraturan yang buruk menimbulkan
berbagai biaya bagi sektor informal dan sektor formal adalah akibat langsung
dari persaingan ini. Menurut Stingler,
ada dua alternatif pandangan tentang bagaimana sebuah peraturan diberlakukan.
Pertama, peraturan dilembagakan terutama
untuk membelakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian
sub-kelas dari publik tersebut. Kedua, suatu tipe analsis dimana proses politik
dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional
Permasalah
pemanfaatan hukum bagi kepentingan kelompok tertentu, saat ini perkembangannya
sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukan organisasi untuk memperoleh
pendapatn dengan Cuma Cuma yang dibagikan negara atau disalurkan melalui sistem
hukum atau setidaktidaknya untuk melindungi diri sendiri dari proses ini dengan
membentuk apa yang dinamakan
redistributiv combines, yang tidak terbatas pada bidang bidang yang
;azimnya erat berhubungan dengan kegiatan politik partai politik, media massar,
atau organisasi informal tetapi meluas sampai ke perusahaanperushaaan dan
bahkan pada keluarga keluarga. Menurut
rachbini (1996), dalampola redistributic combines ini sumber sumber ekonomi
aset produktif, dan modal didistribusikan secara terbatab hanya di lingkungan
segelintir orang. Berlakungan pola redistrinutive combines ini terjadi akibat
sistem politik yang tertypu karena dilindungi sistem hukum yang kabur dan
ketidakadaan rule of law di bidang ekonomi. Menghubungkannya dengan teori
keadilan akan menjadi masalah yang sudah umum dipemerintahan. John Rawl yang membangun
teori kedailan mengkosptualisasikan teori keadilan bertolak dari prinsip :
a. Setiap
orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar
sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimiliki orang lain.
b. Ketimpangan
sosial dan ekonomi harus ditangani keduanya.
Melalui cara
berpikir tersebut, Rawls percaya bahwa suatu keadilan datang dari sesuatu yang
benar dan bukan sebaliknya. Keadilan sosial yang dikonsepkan oleh Rawls
diarahkan kepada penyiapan nilai terhadap sebuah standar aspek distribusi dari
struktur standar masyarakat. Selain itu, dalam kaintannya dengan pasar bebas,
teori keadilan Rawls merupakan kritik terhadap sistem keadilan Adam Smith. Raws
setuju dengan konsep Smith mengenai perwujudan diri manusia sesuai dengan
pikihan bebas dan usaha setiap orang. Ia juga sepakat dengan Smith bahwa pasar
bebasmenyediakan kemungkinan terbaik bagi perwujudan penentuan diri manusia.
Namun Rawls melihat mekanisme pasar bebas gagal berfungsi secara baik, oleh
karena itu, menurut Rawls pasar bebas justru menimbulkan ketidakadilan. Karena
setiap orang masuk kedalam pasar dengan bakat dan kemampuan yang berbeda,
peluang sama yang diberikan pasar justru tidak akan menguntungkan semua
peserta. Pasar bebas akan mencipatakan kepincangan karena perbedaan bakat dan
kemampuan antara satu orang dengan yang lainnya.
Daftar
pustaka
Clark, Barry. 1998. Political Economy: A Comperative Approach. Second Edition. London:
Wesport – Connecticut.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta; Erlangga.
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan
Kebijakan). Erlangga,Jakarta.
Little, I.M.D. 2002. Ethics, Economics and Politics. New York; Oxford University
Press.
Rachbini, Didik J. 1991. Dimensi Ekonomi
dan Politik pada Sektor Informal. Prisma.
No.5, Tahun XX, Mei.
#TUGAS7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar