Pada minggu ketiga ini saya akan meringkas tentang paradigma ekonomi kelembagaan, teori ekonomi kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji fenomena ekonomi, yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Jadi, pada asas ini, teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial memiliki 2 dimensi yang harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan negara, ilmu sosial tidak hanya memiliki daya penjelas atau kapasitas interpretatif, tetapi juga berpotensi melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila bersinggungan dengan masyarakat, maka ilmu sosial tidak berbicara tentang legitimasi dan delegitimasi, melainkan tentang ilmu-ilmu sosial instrumental dan ilmu-ilmu sosial kritis. Ilmu-ilmu sosial sosial instrumental bisa dimaknai sebagai disiplin ilmu-ilmu sosial yang bertujuan akhir pada tindakan, yaitu pada dominasi masyarakat. Sedangkan ilmu-ilmu sosial kritis memiliki tujuan akhir pada emansipasi masyarakat. Emansipasi ini bertolak dari dalam, dengan memerdekakan kesadaran dari keadaannya yang tidak reflektif (Kleden, 1997:27-28).
Perilaku
Teknologis dan Ideologis
Analisis ilmu ekonomi
bisa dibagi dalam empat cakupan: alokasi sumberdaya, tingkat pertumbuhan
kesempatan kerja, pendapatan, produksi dan harga, distribusi pendapatan,
struktur kekuasaan. Menurut Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan
kondisi-kondisi ideal yang direprodiksi secara kurang sempurna melalui
kebiasaan pada masing-masing generasi individu berikutnya. Dengan demikian,
kelembagaan berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Para
ahli kelembagaan berpendapat bahwa rentang alternative manusia ditentukan
melalui struktur kelembagaan atau konteks dimana mereka lahir, yakni ruang
untuk memulai analisis dengan melihat struktur kelembagaan.
Aliran Veblen membedakan
antara perilaku teknologis dan kelembagaan sebagai titik awal untuk menerangkan
kontribusi teoritis dari aliran kelembagaan. Pikiran dan tindakan teknologis
atau instrumental meliputi penjelasan dari sebab ke akibat. Tindakan ini adalah
tindakan yang bukan bersifat kekerasan/paksaan dan menjadi pokok dari
verifikasi empiris tentang kemampuanya untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebaliknya, perilaku kelembagaan dan seremonial dibengkokkan dengan
pertimbangan-pertimbangan peringkat dan status. Perilaku ini dilakukan dengan
tekanan sosial dan diservikasi melalui kewenangan yang ada. Aktivitas yang
bersifat instrumental yakni upaya untuk menghentikan pemahaman
keilmuan/keilmiahan, merupakan kekuatan dinamis dalam pembangunan ekonomi.
Sebaliknya, kelembagaan adalah kebiasaan umum dari system status di masyarakat,
seperti kelaziman, hukum, politik, agama, dan moralitas.
Setiap analisis
kelembagaan diminta untuk hati-hati dalam merumuskan perilaku. Perilaku yang
mendasar pada akar tindakan manusia dalam struktur kelembagaan (norma,
pekerjaan, peraturan-peraturan, pemanfaatan, dan keinginan) ketimbang keinginan
individual yang banyak dianggap tidak asli atau tidak bisa dipercaya karena
sifat subjektif dan introspektifnya. Behaviorisme memahami keinginan individu, bila
harus digunakan dalam analisis, sebagai suatu keinginan yang muncul dari
kelembagaan budaya dimana individu tersebut lahir. Jadi individu tidak berdiri
sendiri, tetapi beralas dari struktur sosial.
Individu secara terbatas mengarah pada transaksi hukum dan kesepakatan. Dengan demikian oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Namun, para ahli kelembagaan melihat pasar sebagai mekanisme yang bisa dari banyak hal. Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol.
Individu secara terbatas mengarah pada transaksi hukum dan kesepakatan. Dengan demikian oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Namun, para ahli kelembagaan melihat pasar sebagai mekanisme yang bisa dari banyak hal. Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol.
Realitas
Dan Evolusi
Filsafat kontemporer
tentang ilmu pengetahuan telah digunakan untuk memahami metodologi ahli
kelembagaan dan bagaimana kelembagaan ini berbeda dari ekonomi konvensional.
Tentu saja, dalam perspektif ini,tugas utama ekonom modern adalah untuk
memahami, menginterprestasikan, dan menjelaskan kenyataan yang ada di
sekitarnya, Tetapi, tujuan utama ini seringkali memunculkan pertayaan,
bagaimana proses penjelasan tersebut telah menjadi sumber kontroversi yang
besar. Pada intinya adalah isu bahwa ilmu pengetahuan modern dibedakan hanya
pada sisi persoalan subjek, bukan dalam metode. Mazhab formal, yang meliputi
positivisme logis dan rasionalisme, termasuk dalam kubu yang mempunyai
pandangan seperti itu,sehingga sebagian besar ekonomi konvensional masuk
kedalam kategori ini.
Sebaliknya, aliran
Holistik, termasuk model-model pola dan cerita, mengungkapkan keyakinan bahwa
perubahan subjek juga sekaligus memerlukan perubahan metode. Ekonomi
kelembagaan, ekonomi politik radikal,dan marxisme masuk ke dalam kategori ini (Wilber
dan Harrison,1988:96). Dengan kategorisasi ini, metode dalam tradisi ekonomi
kelembagaan merupakan hal yang sama pentingnya dengan subjek itu sendiri.
Bahkan,seringkali, subjek merupakan satu kesatuan dengan metode itu sendiri. Selanjutnya,
subjek dan metode tersebut juga berkaitan dengan data. Robert Heilbroner
menyatakan bahwa bentuk data ekonomi tertentu adalah tidak stabil. Dia
mengklasifikasikan data ekonomi kedalam dua kategori berbeda, pertama, data
berhubungan dengan the physical nature of the production process, sedangkan
yang kedua, data yang berhubungan dengan the behavioral response to economic
stimuli.
Dengan demikian, aliran
kelembagaan bersifat holistic karena memfokuskan pada pola hubungan diantara
bagian-bagian keseluruhan. Hal ini sekaligus merupakan tindakan yang
evolusioner karena perubahan-perubahan didalam pola hubungan dilihat sebagai
esensi dari realitas sosial. Pada tingkat yang lebih kongkrit, ekonomi
kelembagaan memberi apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan dan konflik dalam
proses ekonomi. Dengan dasar inilah, ekonomi kelembagaan meletakkan aspek sosial,
budaya, hukum, politik dan lain-lain ebagai satu kesatuan unit analisis yang
tidak dapat dipisahkan.
Metode
Kualitatif: Partikularitas dan Subyektivitas
Memahami individu atau
masyarakat tidak hanya soal subyek tetapi juga metode. Metode itulah yang akan
membawa kepada kebenaran dan kebenaran inilah yang hendak giuji dalam dua
pendekatan penelitian ilmu sosial, yaitu metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Metode penelitian kuantitatif ini terdiri dari tiga permis:
general, obyektif, dan prediktif (terukur). Pendekatan ini percaya bahwa
fenomena sosial berlaku secara universal dan setiap tindakan-tindakan individu
merupakan turunan dari perilaku kumpulan individu. Sebaliknya, penelitian
kualitatif dimengerti dengan tiga premis yang berlawanan dengan kuantitatif,
yaitu: partikular, subyektif, dan nonprediktif. Premis-premis inilah yang
menjadi dasar dari konstruksi penelitian kualitatif, yang sekaligus menjadi metode
analisis ekonomi kelembagaan.
Metode penelitian
kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut
pendekatan epistemologinya. Metode kualitatif bersandar pada pendekatan
interpretatif sedangkan metode kuantitatif bersandar pada pendekatan
positivistik (Meetoo dan Temple, 2003:5). Setiap penelitian harus berurusan
dengan representasi, yakni pilihan dan jumlah sampel yang dipakai. Pada
penelitian kualitatif tidak berbicara mengenai jumlah namun langsung menunjuk
pada penggunaan satu daerah, komunitas, kelompok, dan lain-lain sebagai sampel
penelitian. Hal tersebut berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menganggap
sampel mewakili gambaran populasi, sehingga jumlah sangat mempengaruhi layak
tidaknya sampel tersebut menjadi representasi populasi. Dengan dasar itu, ilmu
ekonomi beranggapan dapat menyajikan suatu penilaian yang obyektif, yang
kemudian disebut sebagai fakta. Penelitian kuantitatif dianggap lebih obyektif
karena keberhasilannya untuk dapat mengukur dan membandingkan atas data-data
yang dimiliki.
Nonprediktif:
Nilai Guna Dan Liabilitas Data
Membedakan Penelitian
kuantitatif dan kualitatif berdasarkan sifat prediktif dan non prediktif bahwa
penelitian kuantitatif biasanya berujung pada peramalan tentang kemungkinan peristiwa-peristiwa
yang bakal terjadi akibat adanya pemantik yang diberikan. Dengan model ini
peneliti lebih tergerak untuk memberikan informasi dari pada prediksi. Penelitian
kualitatif lebih banyak merujuk kepada pemaknaan konsep, definisi, karakteristik,
metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. sebaliknya, penelitian kantitatif
berkonsentrasi untuk menghitung dan mengukur sesuatu. Penelitian kualitatif dan
kuantitatif berlainan dimana yang pertama memberikan penjelasan dan yang kedua
menyodorkan ramalan. Ada dua alasan mengapa penelitian kualitatif tidak
berminat meramalkan kejadian di masa depan yang pertama pada tingkat filosofis
watak sebuah penelitian sosial tidak harus tahu tentang kejadian dimasa depan,
seberapa besarnya peluang untuk melakukan itu. yang kedua pada tatanan
pragmatis nilai guna sebuah penelitian bukan terletak pada kemampuannya untuk
memprediksi, melainkan kesanggupannya untuk menyodorkan pemahaman-pemahaman
baru melalui analisis yang mendalam.
Hubungan antara
pendekatan ekonomi kelembagaan dengan pendekatan kualitatif lebih mudah
dipetakan, pendekatan ekonomi kelembagaan memberikan jalan keluar bagaimana
cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks sedangkan penelitian
kualitatif menyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab akibat dari
proses sosial tersebut. Meskipun begitu penelitian kuantitatif tidak haram
digunakan dalam analisis ekonomi kelembagaan. Sampai batas tertentu
ukuran-ukuran yang mungkin dikuantifikasi tetap bermanfaat sebagai analisis
ekonomi kelembagaan. misalnya, ukuran efisiensi dalam ekonomi kelembagaan bisa
dilacak dari biaya transaksi yang muncul. Semakin besar biaya transaksi yang
muncul dari pertukaran berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisien, untuk
tiba pada kesimpulan efisien atau inefisien itulah seringkali dibutuhkan
pengukuran.
Daftar Pustaka
Yustika,
Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan:
Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta
#TUGAS3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar